Jung - Featured Jung: Featured - All Post
Tampilkan postingan dengan label Featured. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Featured. Tampilkan semua postingan



Bitcoin singkatnya adalah jaringan terdesentralisasi dengan teknologi blockchain dengan tetap memperhatikan unsur ideal uang sebagai alat transaksi digital peer to peer. Sederhananya, Bitcoin dapat digunakan sebagai alat transaksi, penyimpan nilai dan unit of account jika dipakai dengan baik.

Bitcoin bekerja dengan banyak teknologi di dalamnya, salah satunya adalah blockchain. Sebenarnya teknologi ini sudah dipakai jauh sebelum Bitcoin diciptakan. Tepatnya pada tahun 1991 oleh Stuart Haber dan W. Scott Stornetta, 17 tahun sebelum Bitcoin.

Blockchain adalah kumpulan catatan yang terhubung satu sama lain. Bisa dibayangkan bahwa blockchain bekerja layaknya sebuah dokumen file, ya memang pada dasarnya adalah file digital.

Jika ada yang bertanya Bitcoin itu apa, ya bisa saja saya bilang Bitcoin itu file atau mungkin software.

Begini, anggap saja kita memiliki sebuah file Microsoft Word yang saya beri nama Block0.docx. File ini adalah cikal bakal dari file yang akan dibuat selanjutnya bernama Block1.docx. Kemudian pada file Block0.docx terdapat password untuk membuka file Block1.docx. Begitu seterusnya untuk Block2, Block3 dan lainnya.

Sebenarnya ini bukan gambaran yang ideal dan rawan miskonsepsi. Biasanya di artikel lain menjelaskannya dengan buku besar akuntansi, tapi saya ingin menganalogikannya dengan sebuah filechain agar terkesan dekat dengan kehidupan sehari-hari.

Membuka Block1.docx tidak dapat dilakukan jika tidak memiliki passwordnya. Nah, password ini berada di dalam Block0.docx. Sehingga jika kita lihat secara luas, setiap file Block tadi berurutan dan saling terikat satu sama lain mulai dari Block0, Block1, Block2 dan seterusnya.

Ini bisa kita praktekkan dengan membuat file secara manual. Sederhananya, jika kita ingin membuat perubahan pada Block6591, maka kita harus melakukan modifikasi keseluruhan blok hingga Block0.

Adanya blockchain di dalam Bitcoin ini menjadi aspek penting terkait tujuan dari hadirnya Bitcoin. Melalui jurnal sebanyak 9 halaman yang diterbitkan oleh Satoshi Nakamoto (sebenarnya 10 halaman dengan bagian sumber referensi), Bitcoin diciptakan untuk menjadi solusi atas permasalahan uang fiat dan sistem perbankan.

Bitcoin bukan kripto

Sebenarnya ada sedikit kesalahan ketika beberapa orang bahkan media membuat penjelasan tentang Bitcoin yang disamakan dengan cryptocurrency. Dalam Bahasa Indonesia, cryptocurrency dapat disebut dengan mata uang kripto.

Bitcoin tidak bekerja seperti mayoritas mata uang kripto lainnya. Ada banyak pengaturan moneter di dalam sistem Bitcoin. Jika boleh dibilang, Bitcoin dapat juga disebut dengan software, seperti yang saya sebutkan diatas. Karena sifatnya yang memperbolehkan kita melakukan upgrade dengan konsensus di dalamnya.

Beberapa hal yang saya sampaikan di atas juga dapat dengan mudah kita pelajari secara perlahan. Pengembangan Bitcoin dapat dilihat di halaman Github Bitcoin dengan mempelajari semua perubahan project yang sedang dikerjakan.

Sifat-sifat yang ada di dalam Bitcoin akan sangat panjang jika saya jelaskan melalui satu artikel. Beberapa sifat yang secara sederhana saya rangkum adalah sebagai berikut:
  • Privasi, hanya pengirim dan penerima transaksi Bitcoin yang mengetahui detail siapa yang bertransaksi. Akses informasi memang transparan, dapat diakses oleh semua orang, namun hanya pihak yang bertransaksi saja yang dapat mengetahui penerima dan pengirim.
  • Bitcoin tidak dapat dipalsukan. Mengapa? Karena semua Bitcoin yang diciptakan jelas asal usulnya sejak pertama kali ditambang.
  • Bitcoin tidak dapat dikontrol oleh entitas seperti perusahaan bahkan negara sekalipun. Sehingga, Bitcoin dapat dikategorikan sebagai hard asset yang akan selalu mengikuti pemiliknya (terkait dengan cencorship resistant). Sifat ini membuat Bitcoin tidak bisa diretas sekalipun. Satu-satunya akses Bitcoin adalah private key. Jika kita dapat menghafal private key, maka tidak ada cara untuk mengakses kepemilikan Bitcoin yang ada di dalam kepala kita.
  • Bitcoin diciptakan dengan jumlah yang terbatas. Penambangan Bitcoin akan semakin langka setiap empat tahun sekali yang disebut dengan halving. Mungkin saya juga akan membahas secara teknis tentang penambangan Bitcoin.
  • Ada sifat terbaik yang dimiliki oleh Bitcoin yang sesuai dengan kepercayaan saya, Bitcoin sejatinya tidak dapat berbunga atau menghasilkan yield. Sebab, aset yang terbatas tidak dapat mengikuti riba di dalamnya. Contohnya jika di masa lalu saya berhutang 1 BTC, maka di masa depan juga saya akan mengembalikan 1 BTC, bukan 1.1 BTC. Konsep ini memang sedikit sulit dijelaskan, namun akan mencoba menuliskannya di artikel lain.

Kemudian mungkin muncul pertanyaan, mengapa jika Bitcoin sebegitu baiknya menjadi sebuah aset (kelas aset baru), tapi harganya naik turun? Sebentar, coba kita pahami dahulu terkait pergerakan harga.

Harga adalah sebuah perbandingan, kita akan selalu membandingkan harga dengan nilai tertentu dari barang lainnya. Sebenarnya harga Bitcoin tidak naik turun atau volatile, jika cara berpikirnya adalah 1 BTC sama dengan 1 BTC.

Namun, yang menjadikannya naik turun adalah 1 BTC sama dengan US Dollar, atau 1 BTC sama dengan Rupiah. Jika hal yang sama kita lakukan, maka ‘harga’ Rupiah juga naik turun dibandingkan US Dollar. Padahal kita semua di keseharian memaknai secara tidak sadar bahwa 1 Rupiah sama dengan 1 Rupiah.

Naik turun Bitcoin secara fiat USD via abc.net.au

Apakah Bitcoin sebuah instrumen investasi? Menurut pemahaman saya, bukan. Bitcoin memiliki tujuan untuk memperbaiki dengan cara menggantikan peranan fiat. Boleh saja Anda menganggapnya sebagai instrumen investasi, jika dibandingkan dengan fiat.

Mempelajari Bitcoin memang tidak dapat dilakukan secara singkat dalam waktu satu malam. Ada banyak hal yang harus dipahami dan dipelajari secara langsung. Alih-alih memahami, jika Anda memaksakan diri untuk memahami Bitcoin secara salah, mungkin justru akan terjerumus pada pemahaman yang salah.

Oiya, jika ingin berdiskusi mengenai Bitcoin, saya sangat terbuka untuk berbagai pertanyaan melalui kontak Twitter saya di @jungjawa. Selamat belajar!

***

Indeks artikel terkait Bitcoin:
- Catatan Tentang Bitcoin (Bagian 2: Bitcoin) artikel yang saat ini Anda baca
Photo by Karolina Grabowska

Saya menulis artikel ini bukan sebagai referensi investasi atau pun spekulasi harga untuk mengambil keuntungan berlebih. Menulis digital aset justru bagus dilakukan pada kondisi bear market seperti sekarang. Bear market adalah kondisi dimana harga aset sedang turun.
Catatan ini saya tulis setelah hampir 4 tahun (sejak 2018) mempelajari dan menggunakan aset digital ini yang akan menjadi landasan revolusi keuangan.

Bagaimana jika digaji menggunakan Bitcoin?

Mengapa revolusi keuangan? Karena sistem keuangan yang sekarang itu rusak. Uang yang ada sekarang adalah uang fiat, bukan uang jaminan dengan aset lain seperti emas.

Lantas, mengapa uang kertas sekarang tidak berlandaskan emas? Apakah uang kertas pernah berlandaskan emas? Jika pernah emas menjadi jaminan uang kertas, mengapa kemudian dilepaskan jaminannya?

Nah, untuk menjawab itu semua kita harus membahas banyak hal. Seperti sejarah uang, tentang uang sebagai penyimpan nilai (Store of Value), uang sebagai alat tukar (Medium of Exchange), dan uang sebagai satuan hitung (Unit of Account).

Uang fiat yang sekarang itu gagal untuk memenuhi syarat tersebut. Sehingga, pada prakteknya di kenyataan, uang fiat terus menerus mengalami pergeseran makna dan nilai, sehingga semakin menjauhi sifat dasar uang.

Mengapa bisa demikian? Jika pernah menonton Money Heist, akan jauh lebih mudah menjelaskannya. Apa yang terjadi di dalam serial Netflix tersebut adalah kenyataan, terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Saya bukan membahas perampokan bank dan penculikan sandera-nya loh ya. Namun lebih kepada isi dari serial tersebut.

Print saja semua uang itu, seperti bank sentral via filmdaily.co

El Professor menunjukkan bahwa pemerintah dapat mencetak uang dengan mudah seperti apa yang mereka lakukan. Perbedaannya adalah, jika dilakukan oleh pemerintah, maka tindakan tersebut legal.

Namun, jika bukan dilakukan oleh lembaga yang memiliki otoritas seperti bank sentral, maka merupakan tindakan ilegal.

Sekilas tampak tidak ada yang salah jika bank sentral menginstruksikan perusahaan percetakan uang untuk mencetak uang. Tetapi, justru inilah sumber masalahnya.

Sejarah Uang

Uang menjadi sejarah panjang dan sangat penting dalam kehidupan umat manusia. Setelah membaca beberapa buku seperti Bitcoin Standard karya Saifedean Ammous, saya banyak menemukan kenyataan bahwa hal-hal yang selama ini terlihat benar, ternyata salah. Sudah tidak sesuai dengan sifat-sifat uang.

The Bitcoin Standard: The Decentralized Alternative to Central Banking via crypto.news

Manusia memenuhi kebutuhan moneternya untuk pertama kali dengan sistem barter. Walaupun secara catatan sejarah sulit untuk membuktikan bahwa sistem barter adalah cikal bakal keuangan modern seperti saat ini.

Anggap saja jika pertama kali manusia melakukan barter, sistem ini sepertinya lumayan berjalan cukup baik jika dilakukan dalam komunitas kecil dalam kelompok. Bertambahnya jumlah manusia dan variasi kebutuhan yang berbeda menjadikan sistem barter adalah opsi yang semakin sulit dilakukan.

Sistem barter memiliki kesulitan untuk mencari manusia dengan kebutuhan yang pas dan sama. Jika saya hanya membutuhkan 1 kilogram daging sapi dan bersedia menukarkannya dengan 1 kursi, maka si pemilik sapi harus menyembelih sapinya terlebih dahulu untuk saya dan menunggu orang lain untuk menukarkan daging sisanya.

Tentu daging akan membusuk sebelum menemukan orang yang mau melakukan barter dengan barang yang sesuai. Apakah menukarkan 1 kursi dengan 1 sapi menjadi logis untuk si pemilik sapi? Belum tentu. Sulit.

Hal ini menyebabkan manusia semakin mencari cara untuk menganggap benda lain lebih berharga. Mulai dari batu-batuan kecil, kerikil, kerang, daun, tulang belulang binatang, gigi dan lain sebagainya. Namun, semua hal tersebut juga menimbulkan masalah karena kualitasnya yang tidak sama rata dan cara mendapatkannya mudah.

Ayo kumpulkan kerang sebagai alat tukar via Photo by Anthony from Pexels

Kemudian manusia pada era logam menemukan hal-hal seperti besi, perunggu, dan akhirnya emas yang dapat dibentuk menjadi pecahan-pecahan kecil. Inilah yang digunakan oleh manusia pada 3.000 tahun yang lalu.

Adanya emas sebenarnya sudah memecahkan masalah uang untuk kondisi saat itu walaupun belum sempurna. Karena jika menggunakan emas, kita masih kesulitan untuk menukarkannya hingga unit terkecil dan kemudahan membawanya kemana-mana tidak sederhana seperti uang kertas sekarang.

Gagasan untuk menggunakan emas justru dalam catatan sejarah dilakukan oleh dinasti Song di China. Mereka menyebutnya dengan jiaozi sebagai bukti kepemilikan emas dalam bentuk catatan kertas pada abad ke 10 Masehi. Kemudian sistem ini yang menghasilkan uang kertas dengan perbandingan 1:1 dengan emas yang disimpan.

Sejak saat itu, uang kertas adalah bukti kepemilikan emas dibaliknya sebagai jaminan. Jika kita memiliki 100.000, maka dibaliknya memiliki nilai emas yang sama dan dapat ditukarkan dengan emas fisiknya.

Hingga pada akhirnya adanya Perang Dunia Kedua dan Perjanjian Bretton Woods pada 1944, Amerika dengan dollar USD menggantikan emas sebagai patokan mata uang negara lain.

Gambaran sederhana dari Perjanjian Bretton Woods via bullionbypost.co.uk

Alasan ini dilakukan dengan aturan bahwa percetakan USD akan dijaminkan dengan emas pada kenyataannya. Masalahnya, perjanjian ini membuat negara lain tidak menggunakan emas sebagai jaminannya, melainkan USD dengan anggapan bahwa USD dijamin dengan emas.

Tentu, jika terjadi pergolakan ekonomi di Amerika akan berpengaruh terhadap kebijakan negara lain karena mereka menyimpan mata uang nasional dengan menjaminkannya pada USD.

Sampai pada akhirnya peristiwa Nixon Shock terjadi di tahun 1971 karena presiden Amerika saat itu, Richard Nixon melepaskan jaminan standar emas untuk dollar.

Alasannya adalah cadangan emas tidak dapat memenuhi jumlah transaksi lagi. Sedangkan percetakan uang selanjutnya diatur dengan kebijakan dari bank sentral atau The FED (Federal Reserve).

Tentu hal ini mengakibatkan gejolak ekonomi yang sangat besar untuk sistem keuangan global. Negara lain secara tidak langsung dapat mengalami kebangkrutan jika sistem kebijakan moneter yang dilakukan oleh The FED sangat agresif.

Mengapa? Karena negara-negara tersebut telah menyimpan cadangan mata uang mereka dalam bentuk dollar. Sejak saat itulah uang kertas yang kita kenal disebut dengan uang fiat, dalam bahasa Latin yang artinya ‘biarlah terjadi’.

Apakah Indonesia menggunakan sistem fiat dalam penerbitan uangnya? Jawaban yang mungkin kita semua inginkan adalah tidak, namun kenyataannya adalah iya. Indonesia mencetak uang tidak dengan jaminan aset, namun kepada kebijakan yang dilakukan oleh bank sentral dengan memperhatikan situasi ekonomi negara.

Sebenarnya tujuannya mulia, namun penjelasannya tidak sederhana karena pencetakan uang fiat memiliki isu kepercayaan seperti yang dijelaskan oleh El Professor. Bagaimana kita percaya kepada kebijakan bank sentral jika pemangku kebijakan politik adalah orang yang korup.

Hasilnya bisa terjadi seperti krisis moneter 1998  di Indonesia karena sistem kebijakan bank sentral yang lemah. Bahkan fakta paling jelas adalah kebangkrutan karena krisis KPR di Amerika untuk pasar perumahan pada tahun 2008.

Apakah harus masih percaya kepada kebijakan bank sentral? Apakah tidak ada solusi moneter yang lain.

Mungkin jawaban singkat saya adalah, Bitcoin. Pada tahun 2018, saat saya sedikit mempelajari Bitcoin pada level harga $15.000 dan hanya melihatnya sebagai potensi kenaikan harga terhadap fiat. Sebelumnya saya hanya bermodal membaca artikel dan tulisan baik oleh penulis luar atau orang Indonesia, seperti Andrew Ryan Sinaga di Medium pada 2017.

Belum mengenal tujuan utama diciptakan Bitcoin oleh Satoshi Nakamoto. Belum banyak mengenal kerusakan yang diakibatkan oleh uang fiat. Namun, justru saya semakin mempelajarinya.

"The problem with fiat money is that it rewards the minority that can handle money, but fools the generation that has worked and saved money." - John Adam Smith, filsuf berkebangsaan Skotlandia yang menjadi pelopor ilmu ekonomi modern.
Menjadi Bitcoin Maximalist (menganggap aset terbaik hanyalah Bitcoin) bukanlah perjalanan yang singkat. Mulai dari melihat-lihat Bitcoin yang dulu pada tahun 2010 sampai 2012 belum begitu bernilai (ya sudah bernilai tapi masih diremehkan) karena sama seperti mainan software dalam game.

Lebih berharga sebuah arcana Dota 2 daripada menggunakan Bitcoin sebagai sebuah aset via Merah Putih

Perjalanan panjang yang melalui proses naik turun mencoba berbagai hal. Mulai dari hal-hal kecil dan beberapa yang harus dibayar mahal hanya untuk mempelajari Bitcoin.

Sama seperti perjalanan mata uang, ada yang harus ditukarkan untuk mencari mata uang ideal. Hingga pada akhirnya saya memiliki keyakinan bahwa Bitcoin adalah hard money, bukan easy money.

Secara aset saya juga menyatakan bahwa Bitcoin jauh lebih berharga daripada emas, sehingga ia dapat dianalogikan sebagai digital gold.

Bagaimana Bitcoin bekerja, mengapa ia dapat menggantikan emas sebagai penyimpan nilai, menentang sistem fiat yang rusak dan lain sebagainya, akan coba saya bahas di tulisan selanjutnya. See you!

Jangan percaya, tapi lakukan verifikasi. Selamat belajar.

***

Indeks artikel terkait Bitcoin:
- Catatan Tentang Bitcoin (Bagian 1: Uang) artikel yang saat ini Anda baca


Artikel ini dimulai dengan pertanyaan: Bagaimana memudahkan orang lain dalam mengerjakan hal-hal yang biasa ia lakukan? Sehingga bisa dipercepat atau membuatnya lebih efisien. Ya gimana lagi ya, wong semuanya mau serba cepat dan tepat.


Hwayoooo~

Contoh saja, jasa transportasi online. Padahal layanan ini memang sudah ada dari dulu dan kalau kita perhatikan lagi, ya memang banyak yang menggunakannya.

Tujuan saya menulis artikel ini adalah mencoba untuk membantu mereka yang mungkin pernah memiliki permasalahan yang sama dengan saya. Tetapi, artikel ini perlu divalidasi lebih dalam lagi karena pernyataan yang ada di dalam artikel ini hanya sekadar asumsi belaka. Masih belum bisa dijadikan dasar sebagai acuan literasi atau sebuah anjuran woro-woro.

Singkat cerita, di tahun 2016 saya masuk ke tahap akhir perkuliahan dan bergelut dengan skripsi. Begitu pula dengan kawan angkatan yang lain. Di jurusan yang berbeda. Di kampus yang berbeda.

Rutinitas yang hampir saya lakukan setiap bulan adalah konsultasi mengenai skripsi dengan dosen pembimbing. Setiap konsultasi, saya harus membawa beberapa paper internasional, jurnal penelitian dan draft proposal yang sudah saya susun sebagai bahan diskusi. Wis padakke mahasiswa biasane wae ~

Namanya juga mahasiswa, ngeprint ya mepet-mepet deadline. Sungguh, bottleneck selalu terjadi di tempat fotokopian mas-mas sekitar kampus.

Kenapa bisa begitu?

Ternyata selain kakak-kakak tingkat yang ndableg kuliah, adek-adek gemes pun ikut mengantri untuk sekadar ngeprint dan membuat suasana menjadi sumringah berjubel-jubel di sana. Saling bergantian colokin flashdisk di komputer printing. Ya, bikin repot.

Ruamene poool! - printfotocopybali.blogspot.com


Hingga seorang mahasiswi nyeletuk bahwa file yang akan ia print ketinggalan. Pupus sudah harapan ngeprint tepat waktu. Saya melihat ini sebagai sebuah permasalahan. Ribet. Ruwet. Semrawut.

Misal saja, satu jurusan di kampus memiliki printing activity sebanyak 50 kali selama satu hari, ada berapa total dari satu fakultas? Bahkan untuk satu kampus? Satu kampus provinsi? Ini perumpamaan yang minimalis banget loh. Tanpa add-on.

Spoiler Alert:
Artikel ini benar-benar oversimplified karena saya hanya berasumsi dan sebisa mungkin memaparkannya agar mudah dipahami. Bagi kalian yang mungkin pernah terjun secara real time atau real good, silakan mengemukakan argumen di kolom komentar yang sudah disediakan. Ingat, ojo gelut! Terimakasih.

Kesimpulannya, ada beberapa poin penting (bisa lebih sih) dari masalah ini. Masalah yang bisa jadi sebuah ide bisnis. Printing solution. Mari kita jabarkan sodara-sodara.

1. Permasalahan

Dalam menulis skripsi, saya belajar untuk merumuskan masalah dan memasukkannya di dalam BAB 1. Andaikan sebuah bisnis, maka saya harus menemukan masalahnya terlebih dahulu, baru kemudian mencari solusi yang paling praktis dan efektif.

Coba kita jabarkan permasalahan yang mungkin terjadi dalam hal traditional/konvensional printing activity:

  • tempat fotokopian/printing penuh, sesak, tidak ada lahan parkir dan tidak ada database informasi akan hal ini
  • tidak ada listing harga printing di lokasi sekitar kita. Sebentar, dimana ya fotokopian yang bisa cetak ukuran A1 sih?
  • flashdisk/data rawan hilang dan corrupt, sebaiknya menggunakan email. Tapi....

Saya pernah berfikir untuk mengirimkan email ke mas-mas fotokopian untuk ngeprint skripsi saya. Tapi, ada hal sepele. Mas-mas fotokopian enggak se-woles itu untuk ngebalesin 50 printing activity setiap harinya dan sangat kecil kemungkinannya mereka memberikan notifikasi ke pengguna bahwa order mereka telah selesai. See?

Mulai dari sini, saya sadar bahwa printing ini adalah hal sepele tapi memang benar-benar bermasalah. Oke, akan saya jabarkan diakhir artikel bahwa bisnis ini tidak terbatas pada market kampus dan mahasiswa saja. Hehehe... sebuah trik supaya artikelmu dibaca sampai habis.

Lanjut ngomongin printing solution, ada kriteria tertentu agar sebuah bisnis bisa sustainable dan menjadi sebuah startup.

  1. Market Size, banyak orang yang akan menggunakan printing solution ini. Tapi, target market kampus yang utama, kita kerucutkan di sana terlebih dahulu.
  2. Scalability, ini penting untuk bisa scale up. Usaha ini akan sustainable nggak sih nantinya? Ojo mung bondo nekat!

Asumsi saya, bisnis ini sama seperti kos-kosan. Selama kampus masih berdiri, masih ada market utama. Selama kertas dan produk printing masih dibutuhkan dalam dunia literasi dan administrasi, maka layanan ini masih jadi solusi.

Pun sama seperti jasa ojek online. Sebelum ada layanan printing online pun telah ada puluhan bisnis printing di sekitar kampus. Kalau ditotal satu provinsi di Jawa Tengah sudah ratusan (?). Tapi apakah bisnis ini nantinya akan mengeliminasi bisnis konvensional yang sudah ada tersebut? Saya rasa tidak.

Ide bisnis ini memiliki visi untuk membuat proses printilan printing menjadi lebih mudah untuk semua orang. Bahkan bagi pelaku bisnis printing sekalipun. Sehingga, kuncinya adalah tantangan scalability. Itu menurut saya.

2. Metodologi - How to start?

Setelah kita tahu permasalahan yang terjadi, saatnya membuat rincian lebih detail bagaimana memecahkan tantangan yang ada.

Market Size

Apakah pasar yang ada cukup besar?
Apakah akan bertahan lama?
Apakah perlu dilakukan kalkulasi sehingga mendapatkan angka yang mendekati kondisi nyata di lapangan?

Karena bisnis ini akan berkembang sangat cepat, perlu dilakukan riset yang lebih matang. Kemudian, bagaimana strategi ekspansi pasar yang kita gunakan di awal? Secara vertikal atau horizontal?

Mungkin secara vertikal, kita bisa melakukan penetrasi pengguna printing dengan sasaran mahasiswa kampus dan konsentrasi di Pulau Jawa terlebih dahulu.

Mungkin juga menggunakan pendekatan horizontal dengan melahirkan lini produk tidak hanya printing, tapi juga ke percetakan dan pernak-pernik seperti banner, vendel, map, poster, mug dan lain sebagainya.

Contoh kalkulasi kasar dari saya:
Dari sebuah kampus kita ambil rata-rata ada minimal 10 tempat printing dengan masing-masing minimal 50 printing activity per hari. Setiap printing activity minimal senilai dengan 10 lembar kertas. Anggap saja hanya print hitam putih seharga 200 rupiah per lembar. Maka, potensi market layanan ini:

(10 x 50 x 10 x 200)/2 adalah Rp. 500.000, ini secara kasar untuk sebuah kampus dalam hitungan hari. Kenapa dibagi dua, biar lebih murah saja sih. Hehehehe....

Ya kalo layanan ini lebih mahal atau sepadan dengan harga yang sekarang ya kurang menarik. Toh, kalau layanannya lebih mudah dan murah, pengguna tentu bisa memilih yang mana.

Kalau dihitung perbulan untuk satu kampus dengan hitungan di atas, sebagai early stage bussiness sudah bisa jalan 15jt-an. Pendapatan kotor loh ya.

Challenge

Tantangannya adalah bagaimana menemukan mereka yang mau membayar untuk layanan ini.

Ya soalnya kalau mahasiswa sih maunya hemat, daripada keluar banyak mending ke tempat print sendiri. Eittsss... itu asumsi, apa betul begitu?

Apalagi kalo hujan deres begini - ahmadshofwan.wordpress.com


Bagaimana cara mengetahuinya? Testing!
Caranya?

Awalnya memang butuh effort lebih sih.
Perlu sumber daya yang cukup sebelum progress pembuatan aplikasi.

Keuntungannya? Biaya lebih rendah dan kita bisa tahu ketika testing dengan kondisi real di lapangan.

Caranya, buat saja call center/email center yang nantinya dipakai sebagai pusat data. Ingat, pakai excel untuk mencatat transaksi yang ada. Hal ini bertujuan agar semuanya bisa di-tracking dengan benar.

Pengguna menghubungi server database dan mengirim dokumen yang akan masuk ke mitra printing. Sebelumnya, kita memerlukan mitra printing yang bisa diajak bekerjasama. Bisa diambil sampel 2-3 tempat. Usahakan dekat dengan server/call center kita.

Setelah pengguna mengirimkan file artinya melakukan order, kita mengantarkan file ke mitra printing, setelah selesai, berikan opsi. Apakah hasil printing perlu dikirimkan ke pengguna, atau pengguna mengambil sendiri ke mitra printing.

Tentu di sini ada peluang kolaborasi dengan layanan jasa antar, bukan? Kalau pengguna masih 'males' mengambil sendiri, ada opsi send by jasa kurir online dikemudian hari.

Biaya dan cara yang digunakan relatif simpel daripada langsung melakukan uji coba dengan melempar aplikasi ke pengguna. Di tahap ini, perlu juga dilakukan kalkulasi biaya terkait bagaimana operasional layanan bisa tercukupi. Terlihat simpel. Saya belum melakukan uji coba sampai tahap ini.

Distribusi Layanan

Ketika kita sudah menemukan pasar dan formula pricing yang pas, selanjutnya bagaimana layanan ini bisa digunakan. Bagaimana cara kita melempar layanan ini ke early adopters sungguh krusial.

Sebaiknya fokus ke pasar yang lebih kecil dahulu. Jika targetnya mahasiswa, maka lebih spesifik lagi, kita bisa melemparnya ke organisasi. Contohnya adalah BEM, Badan Eksekutif Mahasiswa.

Kita perlu feedback dari mereka. Seandainya berhasil, kita sudah punya orang-orang yang menjadi early adopter di kampus. Lebih valid.

Saran saya kepada founder, berikan layanan trial/promosi kepada mereka. Itu menjadi salah satu daya tarik agar tercipta mindset 'apa salahnya sih mencoba'.

Jika sudah berjalan selama satu bulan. Bisa dilanjutkan dengan 10 lembar printing gratis dengan milestone printing 50 lembar. Hal ini akan memicu pengguna untuk melakukan retensi terhadap layanan.

Penting untuk menghindari iklan ditahap awal. Apalagi ketika market, ekosistem dan kompetisi belum tercipta. Jangan sampai ujung-ujungnya kok kayak cuman bakar duit aja. Hehehehe...

3. Iteration

Langkah selanjutnya boleh diasumsikan bahwa layanan ini telah berjalan 3 bulan dimulai dengan versi aplikasi paling sederhana. Tentu saja selain menangani bug, pekerjaan menjadi semakin banyak karena muncul berbagai permasalahan baru. Diantaranya yang mungkin terjadi:
- mitra printing tidak bisa menghandle order yang terlalu banyak
- pengguna tidak puas terhadap hasil printing karena kualitas print yang berbeda di setiap mitra

Wajar terjadi karena tidak ada SOP dan standarisasi layanan. Mengapa layanan transportasi online bisa sustain? Karena memiliki standar, skema pricing dan alur yang jelas. Demikian dengan layanan printing ini.

Sebenarnya simpel. Hanya selembar kertas printing. Tapi, hasil printing pun akan berbeda-beda. Bahkan mitra printing memberikan layanan yang berbeda pula. Apalagi ketika peak day atau peak hours di masa Ujian Tengah Semester misalnya. Di sini, konsistensi layanan kita akan diuji. Lalu, apa usulan solusinya?

Ekspansi selanjutnya memerlukan teknologi dan modal. Kenapa saya katakan demikian? Karena sudah seharusnya IoT (Internet of Things) diimplementasikan. Apakah mungkin dengan perangkat Arduino atau Raspberry Phi yang bekerja pada sebuah printer yang terhubung ke internet dapat secara otomatis melakukan layanan printing?

Jika memungkinkan, maka mitra printing tidak perlu lagi menyediakan printer. Layanan kita yang justru menyediakan printer yang terintegrasi dengan app melalui minikomputer. Sehingga, mitra printing hanya perlu mengawasi, maintain dan menyerahkan hasil printing kepada pengguna ketika mereka mengambilnya.

Akhirnya tempat mas-mas ngeprint bukan jadi arena pertarungan barbar antrian lagi - pelangifotocopy.blogspot.com


Permasalahan mitra printing tidak bisa meng-handle order pun teratasi oleh server yang menggunakan algoritma mirip seperti layanan transportasi online untuk menentukan mitra mana yang paling dekat dan memiliki queque paling sedikit untuk pengguna.

Kualitas hasil printing juga terus dijaga karena menggunakan standar layanan, bukan lagi bergantung pada aset milik mitra printing. Pernah dengar eFishery? Coba cari tahu lagi. Layanan ini juga bisa mirip-mirip ke sana.

Oh iya, di awal artikel saya menyatakan bahwa layanan ini tidak terbatas pada printing saja. Tepat sekali. Saya pernah menemui sebuah case, seseorang pebisnis yang sedang dalam perjalanan bisnis. Ia ingin melakukan presentasi dan memerlukan print. Selain print biasa, ia juga memerlukan poster dan banner.

Ia bertanya pada staff hotel apakah di hotel tersebut terdapat printer. Atau bahkan digital printing terdekat dari hotel tempat ia menginap. Apabila ia harus mencari, ia tidak kenal tempat tersebut. Tentu buang-buang waktu saja.

Akan lebih baik apabila ada sebuah layanan yang mengakomodir hal itu disetiap kota. Mudah bukan?

Case lain adalah pengalaman pribadi saya disebuah site project di Kalimantan. Tentu jauh sekali apabila harus menuju ke kota terdekat untuk menemukan digital printing. Sehingga, digital printing melalui sebuah aplikasi akan jauh lebih mudah daripada pergi sejauh 60 km hanya untuk mencetak sebuah banner ukuran 1x5 meter saja.

Oh iya, saya lupa. Layanan sejenis yang hampir mirip dengan hal ini sebenarnya sudah ada. Contohnya Printerous, Prinzio, atau Gogoprint. Tapi, saya belum menemukan layanan printing masif yang tersedia di setiap kota sebagai franchise layanan printing.
Mungkin ada alasan tersendiri akan hal ini dan saya belum menemukan jawabannya. Saya akan mencoba update artikel ini jika ada hal baru yang saya temukan. Okay.

Na, sudah kepikiran? Atau punya pemikiran lain setelah membaca uraian saya di atas? Silakan share di kolom komentar ya.

Demikian artikel singkat dari saya. Semoga bermanfaat dan menginspirasi.

Have a nice day!


Apa yang lebih menyenangkan dari membaca sebuah buku dari sebuah toko buku?

Budaya membaca pernah saya tekankan dua kali di blog jungjawa.com. Pertama, saya menekankan bahwa membaca adalah mengasah pola pikir kita untuk lebih kreatif dan menghindari rasa malas. Kedua, membaca untuk membaca. Membaca sebagai sebuah kebiasaan.

"Always read something that will make you look good if you die in the middle of it" - P.J. O'Rourke

Agar keren dan disukai oleh netizen, saya menyelipkan quotes berbahasa Inggris agar terlihat kemingris dan sayintifik. Persetan dengan saya mengerti atau tidak artinya. Kan gampang, bisa di Translate.

Apalagi kalau artikel kamu dibumbui oleh sedikit misuh, akan lebih sayintifik lagi. Sungguh sebuah tips manjur yang saya dapatkan dari Ilham Bachtiar agar meningkatkan engagement artikel dengan misuh-misuh. Plusnya, artikel kamu ndak dicopas karena isinya pisuhan!

Salah satu cara untuk membaca adalah melalui buku. Buku yang berbentuk fisik yang konon katanya tidak bisa digantikan dengan buku digital karena sensasi membalik halaman dan aromanya.

Mbelgedhes!

Apakah jika produsen parfum dengan aroma buku akan laris? Coba topik ini dikaji lebih dalam lagi. Tapi yang jelas, dengan adanya buku fisik, saya bisa merasa memiliki buku. Tidak hanya memiliki saja, tapi cukup congkak untuk bisa dipakai sebagai aksesoris properti kekinian untuk memenuhi Feed Instagram. Kuy!

Pertama kali saya bertemu dengan Para Bajingan yang Menyenangkan adalah di Susano Bookstore. Loh, ini kok tiba-tiba ngomongin Susano dan Buku milik Kepala Suku Mojok.co? Artikel ini memang bajingan sekali.

Ya mau gimana lagi, saya susah merangkai kata-kata yang luwes untuk semi-sponsored post. Daripada dipuji-puji tapi akhirnya banyak dimaki, kan lebih baik apa adanya. Karena yang sempurna adalah kalian dan saya penuh pisuhan. Goks!

Jadi begini, saya bertemu dengan Susano Bookstore dan Susan, pemilik Susano Bookstore atau istilah yang lebih bermartabat adalah Founder Susano Bookstore, memperkenalkan saya pada salah satu karya Puthut Ea.

Warung tanpa Instagram akan semakin tertinggal
Sontak saya senang bukan main. Membaca salah satu buku yang sudah saya perkirakan bagaimana bajingannya Puthut berkisah tentang Bagor, sahabat dekatnya.

Menikmati paragraf demi paragraf Para Bajingan yang Menyenangkan membuat saya tak sadar bahwa kini Susan melebarkan sayap untuk memperluas market share dengan membuat salah satu pojok buku fisik di Pasar Panggung Rejo, belakang UNS.


Terutama kalian yang berada di sekitaran Jogja Solo, lokasinya cukup gampang sekali dan terjangka oleh trasportasi masa kini, ojek online.

Toko buku yang membuat saya bertemu dengan pemikir (maaf, bajimpreng) seperti Ilham Bachtiar ini bukan hanya sebuah toko buku yang "nih, gua jual buku. Lo beli, gua jual!".

Bukan, bukan seperti itu. Susano Bookstore adalah sebuah warung (yang kini juga punya Instagram dan Facebook Fanpage Susano) yang bisa menjadi sebuah playground. Warung yang berisik dengan ide-ide yang sering membuat saya salut dan ketagihan.
Apa saja yang membuat saya salut? No! Saya tidak akan membeberkannya di sini. Kalau kamu ingin tau lebih banyak, silakan datang ke Pasar Panggung Rejo dan cari saja seorang wanita bernama Susan. Katakan kalau kalian datang karena salah satu postingan dari Jung (jungjawa.com) dan jangan lupa, saya titip salam untuknya.

Semoga ia tidak akan bingung. Dan malah mengajak kalian untuk ngehik santai terlebih dahulu biar selow.

Etalase Susano Bookstore yang bebas kalian jamah
Dan untuk kalian yang memang para penikmat buku, pengagum kalkulator dan penyayang binatang, silakan datang ke Susano Bookstore. Sekali lagi, Susano Bookstore.

Kurang ajar sekali kalau kalian yang mengaku anak Solo, terlebih mahasiswa UNS yang lebih spesifik lagi, mencintai buku yang kalian tulis sebagai book holic tanpa mengenal Susano Bookstore. Kurang ajar level Maicih akut!

Oh iya, kalian yang ingin tahu lebih banyak bisa berkunjung ke www.susano.id. Tapi situsnya masih coming soon ketika artikel ini dibuat.

Pesan saya satu, untuk pergi ke Susano Bookstore, jangan lupa bawa teman. Fungsinya buat apa? Ya menemanilah. Duh gusti ngono wae kok bingung.

Maksudnya, barangkali kalau kamu bawa teman, ya bisa sesuai dengan judul artikel ini. Aku dan kamu, bertemu di Susano Bookstore. Aku dan kamu, karena Susano Bookstore.

Lah mbois tenan tho?



ternyata disclosure blog itu penting


Membangun sebuah blog bukan hanya perkara hal-hal teknis atau bermodalkan sebuah artikel yang viral lantas kemudian mendulang dollar Adsense. Tidak. Namun, ada faktor penting yang seringkali tidak disadari. Padahal hal ini adalah aspek fundamental.

Ah, mbelgedes.. Tulisan pembukaan yang terlalu muluk-muluk. Siapa yang peduli dengan konten sebuah blog? Mengapa harus memikirkan pembaca apabila dengan menulis pun tidak ada yang akan protes.

Banyak pernyataan yang ujung-ujungnya menimbulkan pertanyaan. Kalau sebuah blog sebegitu populernya, sehingga menerima endorse visual seperti anak-anak Instagram kekinian, apa yang harus dilakukan?

Beberapa waktu yang lalu, Den Bagus Ilham bertanya kepada saya:

“Wahai baginda, sudikah kiranya Anda pergi menuju negeri api?”
“Buat apa?”
“Isteri saya lagi ngidam tahu bulat enyoy-enyoy”

Woalah, Ham. Pancen bathuk mu kui lagi sempal.

*** 

Ilham bertanya tentang Disclosure
Sebuah jawaban yang membuat saya merasa sayentifik


Jadi begini, sebuah blog yang cukup populer bisa saja mendapatkan ikatan kerja sama dengan pihak ketiga. Apa parameter populer tadi? Banyak sekali. Umumnya ada dua, populer di mata search engine dan populer dengan banyak pembaca setia. Setia, selingkuh tiada akhir. Hassshembuh.

Ketika sebuah blog memiliki kerja sama dengan pihak ketiga. Katakanlah ia membuat sebuah blog post yang pada dasarnya adalah sebuah iklan native, maka secara tidak langsung pembaca akan disuguhi oleh promosi sebuah produk.

Karena banyaknya pihak ketiga yang ingin beriklan di blog tersebut, maka akan ada banyak sekali artikel promosi. Nah, bentuknya bisa bermacam-macam. Salah satunya adalah native ads tadi. Bisa berupa job review, content placement atau (walaupun jarang sekali sih) banner ads.

Seringkali, hal-hal yang berbau promosi pasti manis-manisnya aja dong, kayak harga teman gitu. Hehehe…

Baca juga: Harga Teman: Kayak Ada Manis-manisnya Gitu

Nah, dengan adanya disclosure, maka pembaca akan mengerti sejak dari awal membaca sebuah artikel beriklan di dalamnya. Loh, apa itu disclosure?

Gini ndoro...

Kalau kalian pernah membaca beberapa blog post jungjawa.com, maka kalian akan menemukan beberapa artikel yang diawali dengan “Artikel ini disponsori oleh blablabla sebuah produk blablabla…”, itulah yang dinamakan pemberitahuan awal bahwa pembaca akan menyimak sebuah konten promosi.

Disclosure setiap sponsored post jungjawa.com


Pembaca jadi tidak merasa tertipu. Saya sudah membuat pernyataan di awal bahwa artikel yang akan dibaca berisi iklan. Sehingga, saya akan membahas produk tersebut dengan sejujurnya berdasarkan opini pribadi dan mungkin saja (walaupun jarang sekali) ditambahkan sedikit pemanis. Begitu.

Apakah sebuah disclosure itu penting?

Ya. Saya tekankan sekali lagi, ya. Sebuah halaman disclosure pun kalau bisa dibuat untuk berbagai kepentingan dan sebagai etika terhadap blog yang kita kelola.

Jika kamu merasa sebuah disclosure sederhana yang bisa dibuat berdasarkan tag blog saja itu ribet, cobalah mengerti pembacamu. Sedikit saja. Bagaimana bisa mereka terima begitu saja bahwa artikel yang mereka baca adalah konten promosi.

Mungkin saja (walaupun tidak semua) ada yang merasa tertipu membaca konten promosi. Alih-alih senang, akan ada banyak pembaca yang kurang menyukai iklan. That's definitely true.

Lagi-lagi ini hanya perkara pantas atau tidak. Itu saja.  

Mengapa halaman disclosure bisa penting?

Sebenarnya tidak ada keharusan dalam membuat sebuah pernyataan seperti itu. Hanya saja, alangkah baiknya jika kita buat sejak awal. Boleh dikatakan, ini adalah itikad baik dari sang pemilik artikel tentang etika promosi untuk tidak membohongi pembaca.

Halaman tentang iklan di jungjawa.com. Kalian bisa membacanya di sini


Terdapat banyak sekali strategi pemasaran, baik secara hard selling maupun soft selling. Semua itu bisa kita lakukan, namun jika dengan promosi tersebut, pembaca merasa terganggu. Itu akan lain cerita.

Menyatakan bahwa ada kerjasama atas artikel yang dibuat. Pembaca tidak salah paham ketika sesekali ada produk yang kita review atau promosikan. Disclosure penting untuk menuju level profesional dan bagus sekali untuk etika sebagai seorang opinion leader, influencer atau buzzer, you named it.

Bagaimana jika tanpa disclosure?

Boleh saja sih. Enggak masalah sebenarnya. Tapi saya ingin memberikan alasan lain yang bisa saja membuat kamu berpikir kembali.

Bagaimana jika Google memberikan sebuah nilai buruk untuk blog yang seringkali membohongi pembaca dengan konten sponsor di dalamnya? Oke, kalau blog kamu enggak membutuhkan traffic dari search engine, so far enggak masalah.

Ada beberapa hal yang bisa dilakukan oleh Google terkait blog yang tidak memenuhi ekosistem yang dimilikinya. Bisa saja blog kita mengalami deindex, dimana merupakan sebuah tindakan dari Google untuk menurunkan ranking blog tersebut di beberapa keyword atau sampai menghapus blog tersebut dari hasil pencarian. Whoops!

Mengerikan? Yup. Deindex dan spam adalah dua modal utama untuk menghilang dari hasil pencarian. Maka dari itu, halaman disclosure saya rasa sangat penting untuk dibuat.

Sederhana saja, balik lagi ke diri kita jika sebagai pembaca. Apakah akan merasa senang jika diberikan konten eh yang ternyata di ujungnya merupakan iklan. Kan bisa jadi KZL BAT GW.

Akhir kata, saya hanya ingin job review semakin banyak untuk kita semua. Alangkah baiknya dengan makin larisnya blog yang kita miliki, pembaca juga ikut kita perhatikan. Tanpa adanya pembaca, blog kita mungkin tidak akan bisa sebesar ini.

Sudah ya, saya mau beli tahu bulat enyoy-enyoy dulu.


Belakangan, saya sering sekali blogwalking. Entah hanya sekadar mencari bahan bacaan maupun iseng membaca tulisan yang random. Terakhir, saya jadi tahu tentang Aeroterrascan. Sebuah project ambisius dan menarik sekali untuk dibahas (mungkin next time saya akan membahasnya, ingatkan saya).

Urusan blogwalking juga bukan perkara mudah. Apakah harus pilih-pilih bahan bacaan? Tidak. Justru jika menemui sebuah artikel content placement maupun job review, saya menjadi sangat antusias. Tertarik sekali bagaimana blog tersebut mengemas sebuah artikel bersponsor dengan luwes.
Namun, tak jarang pula blogwalking membuat saya sakit hati tak berkesudahan. Sekaligus saya ingin menjerit dan mengumpat sejadi-jadinya. Marah? Mungkin iya. I'm so sorry for this.

Sumber dari Google

Ya, kegiatan blogwalking saya sering kali terhenti ketika membaca sebuah caption di bawah gambar, "Sumber dari Google". Sialnya, saya sering membaca ketika makan, minum es teh maupun nyeruput kuah rujak. Coba tebak, apa yang terjadi? Tersedak!

Percaya atau tidak, kelakuan tim #SumberDariGoogle banyak membuat saya geli, heran, kagum dan sekaligus terkejut. Apakah mencari sumber gambar sesulit itukah? Atau jangan-jangan Google membuatnya menjadi lebih mudah dengan adanya Penelusuran Gambar?

Okay, first of all, saya berpikir positif bahwa "Sumber dari Google" digunakan oleh mereka yang baru saja berhasil menulis di internet, khususnya blog. Mengapa demikian? Ketidaktahuan. Ya, semuanya butuh proses. Mulai dari bawah sebagai proses pendewasaan.

Saya juga demikian, pernah melakukan tindakan tidak terpuji dengan menulis "Sumber dari Google". Tapi, sudahlah, saatnya berdamai dengan masa lalu. Kemudian #terusbelajar untuk memperbaiki kesalahan.

So blogging about this! via warriorwriters.wordpress.com


Hak cipta dari sebuah konten berupa gambar yang dicari melalui hasil penelusuran Google bukanlah milik Google. Layanan pencarian ini hanya menampilkannya saja. Bukan memiliki.

Pemegang hak cipta tetaplah website atau blog yang bersangkutan. Sudah selayaknya "Sumber dari Google" kita buang jauh-jauh. Bahkan kalau bisa, tidak usah sama sekali akan lebih baik.

Solusinya? Melek Referensi

Jika kesulitan menemukan gambar melalui Google, bisa menggunakan layanan free-license images. Banyak sekali, seperti Pixabay, Pexels, Gratisography, Kaboom Pics dan lain sebagainya. Sebelumnya saya pernah menuliskan tentang pencantuman gambar pada blog, mudah sekali.

Nah, semuanya sudah jelas dan gamblang tho? Kalo nulis artikel ya mbok sebisa mungkin bagus. Jelek ndak masalah, tapi #terusbelajar. Gitu sih.

Kan, blogger dekat dengan dunia referensi. Melek ya harus dong. Lha kalo nggak melek referensi, berarti masih merem. Yawis, gek ndang bangun. Sudah pagi, nanti rejekimu di pathok ayam lho.

pecel-yang-ingin-naik-kelas


Indonesia memiliki ragam kuliner yang menggugah selera. Siapa sangka, inisiatif dari sayuran yang mudah didapat seperti kacang panjang, kecambah, daun kemangi dan kerabat dekatnya mampu disajikan dengan nikmat.

Sudut emperan perkantoran hingga kantin sekolah, umumnya menyediakan menu ini. Di Solo, hampir setiap hari saya menyantapnya. Bahkan, jika boleh adu harga, modal 10.000 bisa untuk makan berdua (ini jika harga tarif parkir belum naik). Romantis sekaligus hemat dikantong. Siapa yang mampu menolaknya?

Bagi saya, pecel bukan perkara Madiun saja. Ada hal penting selain sejarah pecel yang banyak dicari oleh khayalak ramai. Salah satu keunikan yang membuat saya berpikir bahwa dipojokan Eropa sana, seorang bule akan meringis jika melihat Paijo makan salad dicampur dengan nasi.

Ya, saya pikir hanya orang Indonesia lah yang gila, mencampurkan salad dengan nasi atau lontong. Dari sana, terciptalah sebuah kombinasi dengan segudang manfaat. Lupakan dengan saran ahli gizi. Murah, kenyang dan mudah didapat adalah alasan utama.

Pecel itu merakyat lho, ndes!

Kalian yang seringkali makan hidangan ini tentu paham betul tentang rentang harga yang ditawarkan. Jika boleh membandingkannya dengan 'jajanan' cafe, pecel lebih murah dan ramah di kantong sampeyan.

Beidewei, bagi saya pecel menjadi makanan terenak setelah rendang. Akan tetapi, pecel lebih menyasar ke segmen pecinta hidup sehat tanpa kolesterol. Sebentar, cinta hidup sehat adalah alasan klise.

Sebab, kantong kering adalah masalah pelik. Mengapa? Karena walaupun makan pecel, gorengan adalah pendamping utama. Selain harganya yang terjangkau, kembali lagi ke tujuan awal, mengenyangkan perut. Persetan dengan kolesterol!

Sampeyan yang belum pernah mencoba pecel mungkin tidak butuh waktu yang lama untuk jatuh cinta dengan pecel. Kombinasi pecel paket lengkap dengan kembang turi, lamtoro dan peyek teri akan menggoyang lidah. Itu baru bicara hal pokok dalam pecel. Jika ditambahkan pelengkap seperti gorengan, telur dadar atau perkedel akan lain cerita. Lagi-lagi, kolesterol dan kawan-kawannya.

Dian Sastro mungkin akan mengumpat habis-habisan dan menaikkan alis sembari berbisik lirih "Kamu jahat" jika sampeyan ketahuan mengambil perkedel miliknya. Lantaran perkedel disisihkan untuk jadi hidangan penutup. Persis seperti masa kecil saya. Sing penak ki keri dewe dipangan.

Pak Bondan pun begitu, biasanya hanya bilang "Maknyos", akan mengubah jargon andalannya akibat rasa pedas dari sambel pecel yang sederhana. "Makjilak tenan!". Biasanya ia akan menanyakan resep bumbu hidangan yang disajikan. Namun, kali ini tidak. Ia akan menanyakan bagaimana mengawetkan bumbu pecel yang akan dibawa naik kelas menuju ibukota.

Sebenarnya kalo dipikir dengan nalar yang baik, apa yang disajikan oleh pecel ya bahan makanan yang sering dikonsumsi oleh kambing. Sehat sudah pasti. Murah dan mudah didapat itu wajib. Sebuah logika yang samar akan terlihat jelas bahwa kambing memberi contoh untuk hidup sehat.

Bagi saya, pecel bukan perkara kuliner saja. Namun amanat penyerahan diri kepada alam. Tentang kembalinya raga dan menikmati rasa dari Sang Kuasa. Pecel dapat dijadikan sebuah simbol tentang perlawanan. Rendah lemak itu keras, Bung!

Dalam periode sepuluh semester tapi belum jadi sarjana teknik, saya masih bermimpi. Bahwa, pecel bisa naik kelas dan Instagram-able. Kalo bisa mirip-mirip dibikin seperti kopi, ada filosofi pecel. Gitu. *eh ini kok gimana gitu ya~

Nah, sebenarnya jika saya menjelma menjadi hidangan pecel, saya tentu iri dengan kopi. Saya ndak mengerti apa salah pecel? Kurang ngehits? Ya, saya paham, diputus secara sepihak itu enggak enak. Perih. Makanya saya dukung Mbak Yuliana.

Jika sekarang coffe shop sudah mulai menjamur ibarat jamaah fesbukiah yang "menjamurkan" berita hoax. Saya juga bermimpi pecel bisa menjamur seantero negri ini. Menyebar menuju gang kecil. Melewati batas suku, etnis, ras dan agama. Bersatu kita pecel, bercerai kita menikmati gado-gado!

Mungkin pengusaha pecel harus mampu melihat pasar yang memiliki market share dengan porsi menjanjikan. Melakukan analisis sederhana tentang dedek-dedek gemes yang mungkin bisa dialihfungsikan sebagai duta pecel, seperti Dek Depari yang sudah jadi duta anti narkoba. Sangar tho?

Momentum restoran cepat saji juga bisa dijadikan solusi jitu memasarkan produk lokal ke pasar internasional. Bukankah menarik jika burger saus pecel dan pizza karamel pecel ikut naik di daftar menu?

Bahkan, saya iri dengan kuliner Nasi Padang yang populer seperti franchise modern dengan outlet tersebar ke pelosok desa. Sungguh, Nasi Padang mencuri start terlebih dahulu. Pecel tidak boleh tinggal diam! Serangan fajar balas dengan serangan gelap gulita!

Pecel seperti di anak tirikan oleh Nasi Padang. Seperti rasan-rasan mahasiswa di kampus saya, nasi padang yang katanya sederhana namun harganya tidak sesederhana nasi pecel. Lak ngapusi tho!

Pecel, peyek dan mahasiswa yang ingin segera lulus bukanlah omong kosong. Kiranya wajib untuk menjaga kesehatan melalui asupan nutrisi yang baik. Solusinya? Ya sego pecel.

Hubungannya dengan mahasiswa? Ya kalo pengen segera lulus, biasanya mencoba menulis pecel dengan serius.



Header image credit: wikipedia.org
Merekam Jejak, Memori dan Waktu
Banjarmasin, 23 Januari 2014


Bagaimana jika sebuah foto mampu memutar kembali peristiwa yang telah lalu? Sebuah sejarah yang dapat diputar berulang-kali melalui sebuah bingkai foto.

Merekam jejak, waktu dan memori adalah pekerjaan sulit. Namun dapat dilakukan oleh fotografi. Ya, fotografi!

Sederhananya, fotografi dapat merekam peristiwa dan berbagai hal yang menyertainya. Bahkan, sebuah foto mampu menghadirkan kembali nuansa yang telah lampau. Membayangkan bagaimana peristiwa bersejarah saat Soekarno membacakan naskah proklamasi di Jalan Pegangsaan Timur No 56 hanya dengan melihat dokumentasi fotonya.

sejarah-proklamasi-blogbankris.my.id
Sejarah proklamasi via blogbankris.my.id


Seperti itulah makna dari fotografi yang diungkapkan oleh Agan Harahap melalui salah satu artikelnya di Qubicle (http://qubicle.id/story/the-invisible-monuments). Fotografi mampu menghadirkan sejarah, peristiwa besar dan sebagai penanda berbagai hal yang telah lampau.

Baca juga: Lamaran Kerja Bermodal Cokelat, Emang Bisa?

Memori yang luput dari rekaman ingatan manusia dapat dikemas ke dalam sebuah foto melalui fotografi. Dalam prakteknya, kita dapat bernostalgia melalui sebuah foto. Jangan pernah pula melupakan sebuah ingatan, apalagi sejarah. Karena sejarah adalah tonggak awal kemajuan pembelajaran bagi suatu bangsa.

The Invisible Monuments by Agan Harahap on Qubicle.id
The Invisible Monument by Agan Harahap on Qubicle via qubicle.id


Melalui artikel tersebut, Agan Harahap memperkenalkan sebuah project fotografi yang bernama "The Invisible Monument". Sebuah project yang berupaya untuk menjelajahi lokasi kuburan massal era 65 di Pulau Jawa. Menghadirkan kembali ingatan tentang peristiwa besar yang menyimpan luka, duka dan lara.

Mengingat waktu dan masa lalu

Fotografi, sebuah alat pengingat waktu yang telah lampau dengan campur tangan manusia. Fotografi digunakan sebagai alat untuk mengungkap sejarah. Biarkanlah foto yang bercerita. Nyaris, seperti itulah project fotografi yang dituliskan di Qubicle dari Agan Harahap ini.

Agan Harahap on Qubicle.id
Agan Harahap on Qubicle via qubicle.id


Artikel tersebut juga membuka wawasan tentang fotografi. Sebuah foto dapat menjadi penanda momen-momen yang pernah kita lalui. Mulai dari apa yang kita rasa saat kecil hingga beranjak dewasa. Mempelajari apa yang telah lewat melalui pertanda dalam bentuk 'rekaman beku', sebuah foto.

“Those who cannot remember the past, are condemned to repeat it - George Santayana

Fotografi layaknya sebuah mata universal dalam bentuk rekaman memori dan waktu. Sedangkan jejak yang ada adalah sejarah yang terjadi namun tak bisa terulang kembali.

Salah satu view dari Agan Harahap. Saya menerka peristiwa yang terjadi via qubicle.id


Fotografi memaksa kita merekam sejarah melalui lensa kamera. Membuat sejarah dari sudut pandang kita sendiri. Termasuk sejarah kecil seperti liburan yang telah kita lalui. Menyenangkan sekali bukan?

History are written by humans

Jika masih penasaran, lihatlah album foto kamera milikmu. Apakah memiliki cerita di dalamnya? Sudah pasti ada rekaman tertulis dalam memori sebuah foto. Rekaman waktu mulai dari satu bulan hingga setahun yang lalu menjadi satu.

Kota Bandung di tahun 2014
Rekaman memori saya tentang Bandung, 2 tahun yang lalu


Last, terima kasih banyak untuk Qubicle karena telah menginspirasi saya melalui sebuah artikel yang dituliskan oleh Agan Harahap. Memaknai fotografi tidak hanya dari gambaran keindahan yang disajikan. Namun, bagaimana fotografi mampu memberikan sejarah yang tak terlihat. Yap! Just like invisible monument for us.

Baca juga: Mengejar Passion? Coba Pikir Dulu

Di Qubicle.id kita bisa mencari inspirasi dari sesama user yang memiliki minat sama. Selain itu, kita pun bisa melihat berbagai karya dari mereka. Bahkan, kita bisa membuat komunitas dari passion yang kita miliki.



Kalau kamu ingin tahu banyak tentang Qubicle bisa mencarinya melalui Facebook Fanpage Qubicle, Twitter @Qubicle_ID, Instagram @Qubicle_ID bahkan Youtube Qubicle_ID.

Baca juga: Hey Pemuda! Jangan Banyak Alasan untuk Berkarya

Siapa tahu, Qubicle mampu memberikanmu berbagai inspirasi lainnya. Bagaimana? Tertarik untuk menemukan artikel inspirasi menarik lainnya? Share ur tought on comment section below or you can share this awesome article.


Cokelat Batang


Kalian yang mahasiswa, terutama udah semester akhir, masalah mencari pekerjaan biasanya menjadi topik utama yang dibicarakan. Entah ingin membuka usaha sendiri atau melamar perusahaan tertentu dengan mengirimkan surat lamaran dan CV.

Mungkin, pembahasan yang ada di grup aplikasi chatting pun tak luput dari berbagai poster job fair dan job vacancy. Ah, ketika semuanya semakin sering berseliweran, maka itulah pertanda bahwa kita sudah menjadi mahasiswa akhir.

Biasanya, mencari pekerjaan dengan mengirimkan lamaran itu gampang-gampang susah. Serius loh ya. Walaupun sudah berulang kali mengirimkan lamaran, tetapi tidak juga kunjung mendapatkan panggilan kerja. Namun, ketika kita lihat teman sendiri pertama kalinya melamar, langsung diterima. Ealah kok bisa ya?

Mungkin gini, salah satu faktor gampangnya diterima ya dari kualitas CV yang dikirimkan. Apalagi CV kreatif seperti artikel yang pernah saya baca di Qubicle, tentang pelamar yang mengirimkan CV dengan kemasan cokelat lengkap beserta isinya. Yummy banget dong ya.

Oh sebentar, buat kamu yang belum tau apa itu Qubicle mungkin perlu sedikit saya jelaskan terlebih dahulu. Saya mulai mengenal Qubicle setelah melihat kampanye iklan mereka melalui televisi dan Youtube.

Seperti yang saya tau dari Facebook Fanpage, Qubicle adalah sebuah platform media sekaligus tempat untuk penyedia konten bagi para kreator, termasuk blogger. Sekaligus sebagai media informasi berupa artikel dan video yang bisa digunakan oleh pembaca dilengkapi dengan forum untuk saling bertemu dan membangun jaringan. Istilahnya, kolaborasi lah ya.

Selain itu, di era digital akan ada banyak sekali ide yang bisa kita gali. Seperti karya nyata dalam sebuah video di Youtube misalnya. Kamu juga bisa menggali inspirasi nyata melalui channel Youtube Qubicle.

Logo Qubicle.ID


Qubicle sudah seperti social content network yang menjadi satu dengan content creation platform. Pengguna bisa berkolaborasi membuat konten digital (berupa artikel atau konten multimedia) yang sesuai dengan minat atau hobi. Tapi nggak cuman sendiri. Bisa rame-rame, seperti komunitas.

Nah, dari Qubicle lah saya tahu tentang bagaimana seorang pelamar mengirimkan CV cokelat kemasan pada perusahaan yang dilamarnya. Kalo dipikir-pikir, unik juga ya.

CV Unik Cokelat

Apa yang dilakukan oleh Renata Chunderbalsingh ‘hanyalah’ mengirimkan cokelat dalam bentuk batangan. Nah, yang menjadikannya unik adalah ketika bungkus dari cokelat tersebut dijadikan CV yang dapat dibaca dengan menarik.

Ide yang sebenarnya cukup sederhana. Namun, luput dari pandangan karena keunikannya. Inilah yang membuat Renata tampil berbeda dengan pelamar lainnya.

Hasilnya, Gemma Lewis dari Resources Group cukup tertarik dengan proposal yang dikirimkan oleh Renata. Bahkan, Lewis memposting apa yang dilakukan oleh Renata di LinkedIn-nya. Mungkin saja, Lewis tertarik dengan ‘gift’ yang diberikan oleh Renata.

Bagaimana tidak tertarik? Apa jadinya jika seorang HR menikmati CV yang kita ajukan? Tentu saja peluang kita diterima akan semakin terbuka lebar. Ah, membaca proposal kerja sembari menikmati cokelat adalah hal yang cukup menyenangkan.

Bentuk CV Unik



Dari apa yang dilakukan oleh Renata saya menjadi mengerti bahwa untuk melamar pekerjaan pun haruslah jeli. Terutama bidang pekerjaan yang menuntut kreativitas. Membuat hal-hal sederhana menjadi lebih bermakna seperti lamaran kerja yang bermodalkan sebatang cokelat.

Bahkan, jika boleh unik lagi, sebatang cokelat tadi bisa ditemani oleh minuman juga. Tentu saja, disertai proposal pekerjaan dong ya.

Kamu juga bisa mencari artikel inspiratif lainnya di Qubicle. Boleh jadi, tidak hanya mengenai lamaran pekerjaan, namun melamar sang pujaan hati juga harus kreatif dong ya. Kalian bisa mengikuti Qubicle di Twitter atau melalui akun Instagram Qubicle.

Ada yang ingin berbagi ide untuk lamaran pekerjaan yang menggunakan makanan lain? Silakan tulis di kolom komentar yak!

Image credit: pixabay.com and Gemma Lewis (née Hughes) on LinkedIn


Data. Entah siapa yang menemukan kata ini untuk merepresentasikan catatan atas kumpulan fakta atau sebuah angka yang terukur, jujur, saya sudah bosan mendengarnya. Bukan karena sentimen negatif terhadap penemunya, namun jika kita terlalu data-oriented dan menjadikan segala keputusan yang kita ambil berdasarkan data-driven. Itu bisa fatal.

Okay, untuk asumsi fatal yang di atas, saya tidak memiliki argumen pendukung. Jadi, jangan terlalu dipikirkan kesimpulannya.

Apa yang menyebabkan saya bosan dengan data? Pertama, disajikan dalam angka. Entah data tersebut kemudian diolah menjadi kontur, grafik, tabel maupun diagram, pada dasarnya ia adalah angka. Kumpulan angka yang mewakili variabel tertentu.

Bagi kalian yang melakukan penelitian, entah itu untuk gelar sarjana maupun pekerjaan instansi terkait, pasti selalu berurusan dengan data untuk menarik kesimpulan. Tugas akhir saya pun begitu. Harus mengambil data untuk menarik sebuah kesimpulan atas penelitian yang dilakukan.

Kemudian, apakah data yang diambil tadi memiliki nilai kebenaran yang dapat dipertanggungjawabkan? Mungkin penelitian tersebut telah dilakukan dengan metode yang sudah teruji memiliki akurasi yang baik. Oke.

Kemungkinan lainnya, penelitian tersebut sudah divalidasi sebelumnya dengan rujukan dari penelitian sebelumnya. Oke. Namun, kecurigaan saya masih begitu besar terkait sebuah pengambilan data. Apakah itu benar?



Bicara masalah data, kita akan lebih jauh berbicara mengenai sampel. Metode tertentu dilakukan untuk menentukan sampel yang akan kita uji. Baik itu secara kualitatif maupun kuantitatif. Namun, lagi-lagi saya meragukan istilah 'sampel' yang diuji coba. Apalagi jika sampel tersebut adalah human behaviour atau perilaku manusia.

Sebagai contoh sebuah startup atau web company, banyak sekali yang menggunakan data untuk urusan pengambilan keputusan. Data yang diambil bisa perhari, bulan bahkan perjam jika perlu. Kemudian dari data tersebut diolah dan dijadikan dasar pengambilan keputusan. Baik untuk keperluan desain sebuah situs web maupun pengembangan produk dari perusahaan tersebut.

Saya juga seringkali berdiskusi dengan +uni dzalika  terkait masalah data untuk sebuah blog. Tentang bagaimana sebuah data memengaruhi tulisan yang akan dibuat sampai tulisan apa yang akan dibuat selanjutnya. Hal tersebut dapat dilihat dari berapa lama sebuah halaman dikunjungi, banyaknya jumlah halaman tersebut dikunjunggi hingga seberapa banyak orang yang 'membenci' halaman tersebut.

Dan sekali lagi, data tersebut saya pertanyakan dalam hati. Apakah memiliki akurasi yang cukup tinggi? Bagaimana jika keputusan menulis artikel tersebut salah sehingga performa dari blog atau situs web tersebut menjadi kian menurun?

Sebagai contoh, Paijo sedang berselancar di dunia maya. Kemudian masuk ke dalam sebuah blog dengan judul artikel "Apa yang Bisa Kita Lakukan Ketika Terjebak Macet Saat Mudik?". Karena Paijo sedang browsing di kantor, ia menandai halaman tersebut dan menyimpannya ke dalam aplikasi Pocket atau Instapaper agar bisa dengan mudah dibaca nantinya. Entah itu di kereta dalam perjalanan pulang atau di rumah nantinya.
New Visitor vs Returning Visitor

Dari kasus di atas, durasi Paijo mengunjungi halaman tersebut mungkin hanya sepersekian menit. Saya asumsikan kurang dari satu menit. Apabila kondisi tersebut dialami oleh sebagian besar pengunjung artikel tersebut, masuk-bookmark-keluar. Maka, artikel tersebut akan memiliki average time on page yang sangat rendah. Apakah average time on page tadi dapat mengindikasikan konten tersebut tidak disukai? Belum tentu.

Itu baru bicara masalah durasi yang mungkin saja artikel tersebut memiliki panjang lebih dari 1000 kata. Cukup panjang bukan?


Designing with Data

Kasus yang sama juga dialami oleh desain suatu perangkat yang berinteraksi dengan manusia. Tidak hanya konten website, desain sebuah mobile app juga bergantung dari data yang diambil. Seperti desain sebuah call to action button, entah ingin diberi warna hijau maupun biru yang bisa dilakukan adalah melakukan validasi.

Mobile app design via graphicloads.com


Bisa dengan berbagai macam cara, seperti mewawancarai langsung pengguna web atau mobile app tersebut maupun mengambil kesimpulan dari data yang sudah ada. Mungkin saya adalah orang yang sedikit pro asumsi, dimana ketika banyak orang yang menyarankan untuk menggunakan A/B testing atau menggunakan tools, saya cenderung tidak terlalu memusingkannya.


Bukan berarti saya anti terhadap keputusan berdasarkan data, tapi lebih kepada mengkhawatirkan data yang tidak akurat dan bernilai salah dengan margin kesalahan yang sangat tinggi. Seringnya, saya menggunakan data untuk mendukung asumsi yang saya buat. Sebab, bagi saya, data tidak bisa berbicara dengan nada "Wah ini bagus! Tapi kurang ini deh".

Belum lagi metode pengambilan data yang dilakukan. Apakah data tersebut sudah mencakup seluruh data yang ada? Apakah metode maupun tools tersebut mampu meng-gather seluruh sistem data yang ada atau hanya sebagian kecil saja?

Fluktuasi data yang tidak dapat dihindari


Sebab, segala sesuatu mengalami perubahan setiap waktunya. Kita tidak pernah mendapatkan kondisi yang benar-benar steady. Tentunya sebuah data selalu mengalami fluktuasi, apalagi jika terkait human behaviour, Entah itu kondisi ekonominya, kesukaannya, tren lingkungan sekitarnya dan lain sebagainya. Dan, sebuah pengukuran data hanya bisa mengambil sebagian kecil tren yang terjadi dalam rentang waktu yang cukup sempit dan skala yang dangkal.


Manipulasi Data

Sebuah kumpulan angka dalam variabel rentan sekali untuk dimanipulasi. Baik manipulasi secara langsung terhadap statistik variabel tersebut, maupun manipulasi dengan cara 'mengakali' pengambil data. Sehingga, data yang terambil memiliki nilai yang diharapkan.

Oke, saya akan coba memberi contoh terkait perhitungan Page View sebuah blog maupun website. Untuk menaikkan jumlah Page View sebenarnya cukup mudah, yakni memaksa user atau visitor mengunjungi halaman tersebut berkali-kali. Mungkin kita sudah cukup familiar untuk memblokir akses dari IP milik kita saat membuka halaman blog milik sendiri. Oke, saya setuju jika data yang diambil dari Page View tidak memperhitungkan kunjungan dari pemilik blog tersebut.

Ah Page View! You lie!


Masalahnya, jika kita melakukan total Page View sebuah blog, persebarannya tidak merata. Tidak semua konten blog tersebut memiliki jumlah Page View yang sama. Beberapa artikel memiliki jumlah Page View yang lebih dominan daripada yang lain. Ini disebut konten pilar dari blog tersebut. Namun, jika kita mengklaim blog tersebut memiliki seribu kunjungan per harinya, apakah pantas menyebutkan bahwa blog tersebut memiliki data yang cukup baik.

Jika saya sebagai pengiklan, tentu akan lebih selektif memilih blog untuk dijadikan mitra. Sebab, bisa jadi ia mampu membuat sebuah konten yang bagus namun tidak memiliki kapabilitas untuk menaikkan konten lain, terutama konten bersponsor. Sehingga saya tidak akan berasumsi terhadap data yang ditunjukkan oleh blog tersebut.

Sebaiknya asumsi data dilakukan ketika kita sudah memiliki visi. Selain itu, kita berada ditengah-tengah obsesi data. Hampir seluruh industri selalu mengatakan data ini itu dan menerbitkan infografiknya sendiri. Dan semua hal itu selalu berdasarkan data untuk memberikan asumsi-asumsi. entah itu benar atau salah.

Jawaban dari pertanyaan di atas, "Seberapa penting asumsi data?" sebenarnya cukup sederhana. Jika algoritma ranking di Google dapat dimanipulasi dengan teknik SEO, artinya data dapat dimanipulasi nilai kebenarannya. Hanya saja, mungkin teramat sulit untuk memanipulasi data tersebut.

Kesimpulannya, data bukanlah asumsi yang harus dipercaya tanpa adanya visi. Begitu pula sebaliknya, keduanya dapat saling mendukung untuk dijadikan sebagai dasar pengambilan keputusan.

Good Ideas. Great Stories.

Feel free if you want to send an email to me and ask anything, or just to say hello!

hello@jungjawa.com

Copyright © jungjawa 2022