Jung - All Post


Entah kerasukan setan apa, saya ingin sekali menuliskan hal ini. Mirip sebuah jurnal untuk refleksi diri dari kehebohan dunia yang fana. Sedikit melenceng untuk memaknai jargon internesyenel, YOLO (You Only Live Once).

Tidak perlu mencemooh orang lain. Cukup menertawakan diri sendiri di hari yang fitri ini. Loh? Kan lebaran baru saja kita lewati. Sudah berapa ratus ribu uang THR yang kau manfaatkan untuk berfoya-foya?

Kalo saya, ndak ada sama sekali. Wong jatah THR aja sudah ndak punya. Sebab, sudah kepala 20 hampir 25 dan tentu sudah khatam ditanya 'Kapan lulus dan kapan nikah'. Kapan-kapan wae bro!

"Kapan nikah?"

Hambok ya situ bantu nyariin, gak cuman nanyain. Sebab kalo cuman dipikirin, itu hanya sekadar ingin. Ya to?

Terus apa hubungannya nikah dengan nongkrong dan hobi foya-foya? Jadi gini, saya ingin sedikit memberikan penjelasan tentang kenapa saya belum nikah dan belum lulus juga. Biar nanti kalo ada yang nanya-nanya, tinggal disodorin tulisan ini biar dia baca. Kalo perlu, saya print sekalian di ruang tamu keluarga.

Hobi nongkrong atau nongki-nongki merupakan bentuk kenikmatan duniawi remaja masa kini. Boleh dibilang, nggak nongkrong, ya nggak ngehits. Kalo nggak ngehits, ya susah cari jodo. Nah, dari sini ada sedikit titik terang, tho?

Sebenarnya, saya itu ndak bener-bener suka yang namanya nongki-nongki. Apalagi cuman pergi ke 'tempat keren' terdekat yang nggak bonafit-able buat saya. Lha gimana ndak bonafit? Wong tempatnya saja mirip parkiran alpamaret atau shindomarket.

Semisal ndak ada dedeq-dedeq gemes yang bikin jantung saya deg-deg mak ser, saya tidak akan pernah nongko-nongki dalam hidup saya. Suer deh!

Nongki-nongki dan berfoya-foya adalah bentuk kontribusi saya menuntaskan masalah kemiskinan dan kejombloan negara ini. Program kerja ini saya evaluasi setiap tahun. Bahkan saya harus punya program baru kedepannya. Memetakan tempat nongki-nongki terbaik untuk diteruskan generasi selanjutnya.

Hobi nongkrong dan foya-foya tentu akan saya hentikan saat program kerja ini sukses menekan angka kejombloan. Sebab, naiknya penderita jomblokitis (penyakit jomblo akut dengan membayangkan pacarnya adalah persyonel JKTFortiEx) tentu menyulitkan pemerintahan presiden saat ini. Ya, mungkin juga akan berimbas untuk periode pemerintahan selanjutnya.

Jadi, kesimpulannya gini, nongkrong dan foya-foya adalah solusi untuk masa depan bangsa ini. Enggak nongkrong, ya enggak dapat jodo, gak foya-foya, gak segera nikah. Lha kalo gak segera nikah? Ya, sudah barang tentu jadi hidangan utama pertanyaan saat lebaran.

Akhir kata, saya, mewakili Kementerian Nongki-nongki Kekinian mohon maaf yang sebesar-besarnya jika program kerja tahun ini kurang begitu memuaskan. Ada baiknya kami selaku Kementrian Nongki-nongki Kekinian menerima feedback positif dari Anda sekalian untuk Indonesia yang lebih baik.

Sudahkah Anda nongki-nongki hari ini?


Paijo
Solo, 11 Juli 2016



Artikel ini pertama kali dipublikasikan di Katanium

dibalik visual instagram



Hello Instagram addict (or I can say, ‘Instagrammers’), ngapunten banget nggih ya seandainya artikel ini agak-sedikit-banget mengena buat kalian, nggak masalah kan? Ya.

Well, gue nulis tentang Instagram kayak gini bukan berarti jadi anti-Instagram atau haters dari aplikasi berbagi foto ini. Enggak. Aplikasi yang udah mendunia sejak lima tahun yang lalu ini emang ya kurang ajar banget populernya. Dibarengi dengan populernya aplikasi Path yang bisa bikin orang kesengsem banget buat nyari cara check-in palsu. Ups!

Perkara lain juga turut hadir di Instagram, misal etika tentang hak cipta. Kan ya ndak banget kalo hasil visual yang sudah dibuat oleh orang lain, secara sengaja atau tidak, dibajak begitu saja. Fyuh, kebebasan mbahmu kiper!

Berbagai foto yang diunggah di Instagram kadang-kadang bisa bikin mata kita terpana. Gimana nggak? Gini pantai yang warna aslinya biru aja bisa jadi biru banget. Dessert yang yah, mungkin rasanya biasa aja bisa jadi sangat menggiurkan berkat filter di Instagram.

Ongkang-ongkang nyeruput kopi pun bisa jadi makin cantik, ya walaupun untuk satu venti harganya sama dengan martabak rasa-rasa. Bahkan, ngapunten nggih, orang bisa sampe segitunya nginjek-injek taman bunga loh buat cari pose cantik ala-ala. Opo ya masih kurang piknik? Ups!

Mari kita istirahat sebentar saja. Instagram memberikan kita berbagai filter dan user experience aplikasi yang menarik. Ya, setiap orang suka akan hal ini. Tapi, semua ini mengingatkan gue sama era jayanya Facebook dulu. Sekitar tahun 2010, tentang bagaimana foto duck face dan angle dari ubun-ubun bisa bikin seseorang sangatlah berbeda dengan kenyataan yang ada. Juga sebaliknya.

Kekacauan yang disebabkan oleh Instagram mulai terjadi ketika penggunanya mulai membandingkan kehidupan pribadi mereka dalam kenyataan dan berbagai foto yang ada di Instagram.

Just keep in mind, kita ikut iri dengan mereka yang kelihatan wah banget dengan piknik mereka. And then, scroll kebawah lagi ketemu temen yang sedang kongkow cakep di cafe. Kayaknya seru banget kan?

Padahal bisa aja apa yang kita lihat itu semu, hanya sederet foto dari aplikasi digital. Kita sering tertipu oleh resolusi pixel yang tanpa sadar bisa saja warna yang ditampilkan udah over saturated. Ealah, ini kok malah bahas teknis sekali.

Hidup ini terlalu singkat jika hanya diwakilkan oleh satu buah foto dengan tagar #latepost dan #dibuangsayang. Ya, agar kekinian dan terlihat show up banget. Apalagi kalau masih banyak sekali kolega dan masyarakat kita yang giat mengamalkan senam jari (scroll up-scroll down).

“The Internet is the first thing that humanity has built that humanity doesn't understand, the largest experiment in anarchy that we have ever had.” ― Eric Schmidt

Jangan heran jika Awkarin harus berpose ratusan kali untuk mendapatkan sebuah jepretan yang ‘layak’ untuk dikonsumsi oleh kawula muda Instagram. Jika kalian masih berpikir untuk apa dan mengapa, maka pertanyaan kalian memerlukan sebuah jawaban yang pasti. Ya, jawabnya ada di ujung langit. Kita ke sana dengan seorang anak.

Cobalah untuk mengikuti feed IG orang lain secara random untuk mengurangi envy effect ini. Fyi aja sih, envy effect tercipta karena kita sendiri yang menciptakannya untuk mengkonsumsi hal-hal tersebut. Ya ibarat apa yang kita follow secara visual, sadar apa nggak, kita akan mengarah ke sana.

Gini deh, selama lo follow akun Instagram dengan niche tertentu dan itu emang dia set up untuk niche tersebut, lo akan selamanya melihat bahwa apa yang tampil di IG dia memang baik-baik saja. Ya kenyataanya mungkin tidak seperti itu.



Tidak selamanya dan setiap hari orang selalu nongkrong di Café dengan dinding yang well decorated. Nggak selamanya juga orang jalan-jalan untuk menikmati vitamin sea. Nggak.

Semua orang pasti memiliki urusan masing-masing dan berbagai masalah yang dihadapi. Tapi nggak selamanya apa yang tampil secara visual di Instagram akan merepresentasikan orang tersebut. Internet memberikan pilihan untuk mempublikasikan apa yang harus dipublikasikan.

Instagram adalah komunitas digital dengan basis visual, maka, apapun yang diberikan untuk publik, ya seenggaknya harus memenuhi syarat indah secara visual.

Membandingkan diri melalui jejaring sosial, menurut gue adalah kesalahan besar. Nggak selamanya semua yang ada di IG, Path, Ask.Fm dan jejaring sosial lainnya itu relevan dengan kenyataan. Nggak ada jaminan juga semuanya itu asli.

Nggak salah juga punya akun jejaring social untuk saling berhubungan dengan orang lain, baik itu teman, keluarga atau calon pacar idaman. Well, jejaring sosial enaknya sih dipake buat seneng-seneng aja. Gausah gelisah apalagi sampe geli-geli basah. Gausah juga ngebandingin hal-hal yang emang nggak penting-penting banget buat diperbandingkan. Connecting, not comparing.


Header image credit: Webster2703 on Pixabay


Sekilas, judul di atas bisa dibaca seperti ini:

Kalah Tak Menyerah, Menang Tak Jungjawa

Oke, tidak ada hubungan yang pasti antara judul dan kalimat pertama tulisan ini. Saya hanya ingin membahas sebuah topik yang cukup singkat. Padat dan jelas. Kompetisi.

Ya, sebuah kata yang bermakna sangat luas. Bahkan dalam kehidupan pun kita sudah ditakdirkan untul berkompetisi sejak dalam bentuk yang paling lucu, sperma.

Berlomba menjadi pemenang sejak dalam rahim. Mencoba mengalahkan pesaing lainnya untuk menjadi yang nomer satu untuk melakukan pembuahan. Beruntung bagi yang memiliki dua pemenang alias menjadi si kembar.

Sejak lahir ke dunia, kita sudah terbiasa untuk berkompetisi. Entah skala nasional maupun interlokal. Eh?

Sampai-sampai, segala film hadir dalam bentuk permainan yang menghadirkan kompetisi. Contohnya The Hunger Games.

Saya melihat ada dua hal dalam sebuah kompetisi. Pertama, pihak pemenang yang memiliki kapabilitas maupun kompetensi yang lebih daripada kompetitor. Mereka mungkin saja memiliki bakat untuk terlahir sebagai pemenang atau berambisi cukup kuat dan melibas lawan-lawannya dengan ciamik.

Kedua, pihak yang kalah karena keberuntungan, dicurangi maupun memang mereka sendiri yang hadir dan tidak mampu mengarungi kompetisi. Memilih untuk menyerah pada keadaan yang nyatanya masih bisa diubah sebelum terlambat. Ya, sebelum mereka menyadari kekalahan tersebut.

Jangan salahkan Manchester United yang terpuruk di era Van Gaal. Terlebih skeptis dengan performa Indonesia yang telah berjuang melawan Thailand di final piala AFF 2016. Pun jangan remehkan Maverick Vinales yang bergabung dengan tim Movistar Yamaha MotoGP di gelaran MotoGP 2017. Play on! Semuanya masih bisa dilakukan.

Semuanya akan terus berlangsung. Kompetisi tak akan pernah berakhir. Musim baru pun akan terus bergulir. Mengapa? Karena manusia terlahir untuk bersaing dan berkompetisi.

Kalah bukanlah alasan untuk menyerah dan terpuruk. Jika gagal? Ingat, masih ada kompetisi lain yang bisa diikuti dan mencoba untuk gagal lagi. Terbiasa gagal bukanlah perkara mudah. Tengok saja fans Arsenal, mereka sudah menang sejak dalam pikiran dan terpaan meme dan sindiran sarkas untuk The Gunners.

Kekalahan bukanlah pil pahit yang harus ditelan terus menerus. Ya, walaupun Lionel Messi harus konsisten menelan itu semua hingga saat ini. Gagal di final Piala Dunia 2014 dan Copa America 2016 yang telah lalu. Cukup tragis hingga ia menyatakan untuk pensiun secepatnya. Teleq pitiq!

Kekalahan bukanlah momok yang menakutkan. Sudah sewajarnya tidak menyerah akan kekalahan yang didapatkan. Boleh jadi kita kalah. Tapi kita tetap menang untuk berjuang. Termasuk berjuang menghadapi sidang tugas akhir. Hidup mahasiswa!

Kalau menyerah karena kalah, mesakke rahim si mbok mu yang sudah memenangkan dirimu sejak dalam bentuk sperma. Kompetisi atau perlombaan jangan dijadikan momok yang menakutkan. Anggap saja itu adalah cambuk yang cukup keras.

Mereka yang berhasil menjadi pemenang tak lantas membanggakan diri, sebab lengah sedikit saja, musuh bisa melibas mereka di gelaran kompetisi berikutnya.

Hidup adalah kompetisi. Kalah bukanlah alasan untuk menyerah. Kemenangan pun menjadi terlalu sombong jika dijadikan dasar untuk jemawa.

Header image credit: Sasin Tipchai on Pixabay


Meraup penghasilan dari blogging memang menyenangkan. Bagaimana tidak? Cukup ongkang-ongkang kaki sembari menyeruput secangkir latte di cafe terdekat tentu dapat menyalurkan hobi menongkrong dan berfoya-foya. Siapa yang tak suka?

Penghasilan dari blogging memang menggiurkan. Salah satunya melalui Google Adsense. Sebuah program iklan dari Google yang dapat digunakan oleh webmaster untuk melakukan monetisasi situs atau blog yang dikelola.

Google Adsense secara sederhana melibatkan tiga pihak. Google sebagai penyedia platform, Advertiser sebagai pemilik iklan dan Publisher sebagai tempat untuk beriklan. Blog atau situs yang dimonetisasi masuk ke dalam Publisher. Sedangkan Advertiser adalah pihak yang 'pengin' usahanya diiklankan melalui Google dan Publisher yang tentu saja sudah buanyak sekali jumlahnya.


Lantas, dimanakah nurani yang hilang?

Saya memberikan tanda kutip pada kata pengin di atas.

Begini, pihak Advertiser tentu ingin sekali iklan mereka 100% berhasil. Ya namanya juga orang usaha, biar bikin usahanya makin tokcer ya ngiklan dimana-mana tho ya? Biar banyak orang yang tau.

Namun, ada perangai nakal yang menyayat hati dan nurani. Jika boleh dibilang, hanya perkara perut yang lapar dan nafsu hewani yang tak terkendali. Mengapa saya berkata demikian? Ya, faktanya seperti itu.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa Adsense bisa diakali. Dimanipulasi, dicurangi bahkan digandakan penghasilannya seperti yang dilakukan Kanjeng Dimas Taat Pribadi.

Pencapaian materi yang memaksa kita untuk membujuk nurani agar tak menasehati. Adsense yang diakali dan dimanipulasi bisa dilakukan dengan berbagai macam cara. Menggunakan script atau trick tertentu selama tidak 'melanggar' guideline dari Google Adsense adalah hal yang lumrah.

Berusaha untuk meraup dollar sebanyak-banyaknya dari Adsense adalah perkara wajib hukumnya. Kalo bisa, teplok di jidat, click for ads. Peduli setan. Sikat semua!

Dipojok sana, nurani kecil sedang berbisik lirih. Ingin sekali ia menasehati pihak Publisher yang sedang membohongi Advertiser. Mengapa demikian?

Advertiser tentu ingin sekali iklan yang ia serahkan kepada Google (dan Publisher tentunya) dapat dilihat oleh banyak orang. Bukan dilihat oleh script dan trik abal-abal. Mereka ingin usaha yang dijalankan mendapatkan awareness. Kalo bisa ya tentu saja untuk menaikkan penjualan barang atau jasa yang ditawarkan.

Seolah-olah Publisher sedang memanfaatkan Advertiser karena kebodohannya. Lebih halus lagi, mungkin karena ketidaktahuan pihak Advertiser.

"Salah sendiri ngiklan pake Adsense"
"Ya, emang dari dulu gitu toh?"
"Suka-suka gue lah. Akun gue kok!"

Fraud klik atau manipulasi jumlah klik memang lumrah terjadi dan Google sebagai pihak yang menyelenggarakan iklan tentu tidak senang akan hal ini. Oleh karena itu, Google melarang keras setiap tindakan yang mengindikasikan adanya fraud klik.

Namun tetap saja, ada seribu jalan menuju Roma. Ada banyak trik yang masih bisa dipakai untuk mendapatkan receh yang tentu jumlahnya harus bertambah setiap harinya. Persoalan perut, persoalan dunia, persoalan apapun yang selalu menjadi sebuah persoalan.

Bukan mempermasalahkan semuanya yang berbau iklan. Saya yakin, masih banyak orang di luar sana yang menggunakan slot iklan dan monetisasi berbasis klik dan impresi dengan jujur. Namun, saya ragu, apakah mereka benar-benar jujur atau karena tidak tau cara untuk memanipulasinya.

Opsi untuk tidak tahu sama sekali mungkin akan menjadi pilihan bijak. Lha daripada menjadi script kiddies yang membuat muak pengunjung (atau pembaca) dan tentu saja secara tidak langsung 'mencuri' apa yang harus dibayar oleh pihak advertiser.

Kalau sudah begini, nurani yang murung akan menjadi sebuah masalah. Barangkali ia sudah bosan dan pergi meninggalkan Sang Publisher. Ya, nurani yang pergi. Nurani yang hilang.


Header image credit: Tama66 on pixabay.com
Alan Walker dan Musisi Anak Muda


Alan Walker, Chainsmokers, Marshmello dan beberapa nama lainnya mungkin terdengar tidak asing lagi di telinga kita. Bagaimana tidak? Hampir setiap hari saya mendengarnya. Ya, mendengarkan musik mereka seolah-olah memberikan nuansa dan emosi tersendiri.

Emosi ketika mengantri fotokopi dan diserobot dedeq-dedeq gemes semester rok pendek hilang seketika tatkala mas-mas fotokopian  membuka Youtube dan memutar Alone.

Namun, ada satu yang luput dari perhatian saya dan beruntung saya mendapatkannya. Jatuh cinta pada Bodyache milik Purity Rings. Sungguh sial, saya baru mendengarkannya. Tak lupa saya ucapkan terimakasih kepada Sam Kolder karena sudah menghipnotis saya melalui videonya yang berjudul My Year 2015. Thanks Kold!



Lalu, saya dibuat bimbang, mana yang lebih baik diantara Purity Rings dengan Bodyache-nya dan Alan Walker dengan Fadednya. Nyatanya, saya kepengin sekali mendengarkan keduanya bersamaan. Biar ndak ribut-ribut gitu. Mantap!


Bodyache milik Purity Rings membuat saya berhalusinasi. Seolah-olah saya terjatuh diantara jutaan bintang.

Sejujurnya, saya cukup kecewa ketika membuka Republik Musisi dan tidak menemukan arsip Purity Ring sama sekali di sana. Di mana saya mencoba mengingat-ingat kembali untuk pertama kalinya menemukan Purity Ring secara tak sengaja di poster We The Fest pada bulan Agustus 2016 lalu.

By the way, banyak sekali musisi internasional yang karya musiknya cukup berkualitas. Yaiyalah, namanya juga musisi, kan? Seperti Alan Walker dengan "Faded" miliknya. Artist EDM asal Norwegia ini ternyata masih berumur 18 tahun. Terpaut dua tahun dari Martin Garrix.

Kabarnya, Faded dibuat pertama kali pada tahun 2014 dengan judul Fade. Kemudian dijadikan cikal bakal dari Faded yang kemudian mulai naik dua tahun kemudian dengan tambahan vokal dari Iselin Solheim.

***

Musik memang tak mengenal batas usia, ras dan gender. Saya pernah menulis tentang Alesso dengan We Could Be Heroes miliknya. Secara tersirat mengingatkan saya kepada Civil War, Heroes dan semangat juang anak-anak muda.

Saya senang mencari korelasi antara musik dan anak muda. Entah mengapa, keduanya seperti memiliki arus timbal balik yang tidak dapat dipisahkan. Dan lagi-lagi, saya menemukan secuil lirik yang cukup menggugah selera.

Bicara Alan Walker, ia tak ubahnya seperti Kakashi di dunia nyata. Secara penampilan bisa dibilang hampir mirip. Walaupun tanpa mata sharingan yang kiyutable itu.

Header image credit: youtube.com | Alan Walker

P.S.
Sebuah skipable post yang sekadar uneg-uneg. Sebenarnya ingin sekali share playlist di sini. Cuman, sepertinya sudah terlalu umum untuk dibagikan. Nikmati saja. Ya sudah, saya ingin ubek-ubek Proximity dulu. Have a nice day!


Saya pernah mendapatkan kuliah tentang kehidupan dari seorang dosen. Pelajarannya cukup sederhana, amatilah huruf T dan carilah makna apa yang bisa dijelaskannya.

Awalnya, saya cukup bingung. Mengingat, apa yang bisa kita lihat dari bentuk huruf T? Hanya ada tiga garis (atau dua) dengan 4 titik (atau tiga) yang saling dihubungkan. Bagaimana bisa huruf T dipandang hingga merefleksikan sendi-sendi kehidupan?

Ternyata...

Pertama, adalah bentuk tiga garis tadi. Jika dibagi menjadi dua jenis, huruf T memiliki 2 jenis garis. Yakni garis vertikal dan horizontal.

Kedua, garis inilah yang mencerminkan pengetahuan akan kehidupan. Sebuah makna vertikal untuk mendalami dan horizontal untuk memperluas. Maka, sederhananya, ketika huruf T memiliki jenis garis yang dominan, itulah yang tercermin dari diri kita.

Bukan, artikel ini bukan membahas ramalan kehidupan manusia. Hanya saja, kita bisa berusaha untuk belajar dari bentuk huruf T. Memilih untuk mempelajari segala hal (horizontal) atau mendalami yang kita pelajari (vertikal).

Baca juga: Mimpi + Eksekusi = Sempurna

Tentu saja, huruf T akan dikatakan berbentuk huruf T ketika garis vertikalnya cukup panjang. Mendalami sebuah ilmu pengetahuan secara spesifik dan memberikan unique point tersendiri. Bukan maruk ke mana-mana tapi tidak paham sama sekali.

Pun demikian dengan makna huruf T, bisa sefilosofis ini. Berusaha untuk ahli dalam suatu bidang, bukanlah mudah. Gampangnya, jika kita analogikan dengan dunia blogging dan blogger. Wah, mulai menarik nih.



Jika saya adalah huruf T, maka saya akan menciptakan unique point tersendiri. Pokoknya berbeda dari blogger lain. Mulai dari bahasan, gaya bahasa sampai niche yang (mungkin) sangat segmented.

Menjadi expert dan antusias di bidang tertentu bukanlah perkara mudah. Konsistensi? Ya, hukumnya fardhu 'ain. Barangkali jika boleh berkata, segala sesuatu haruslah dilakukan dengan tumaninah.

Ketika saya tidak mengerti apa itu spesifikasi kompresi sepeda motor, torsi maksimum atau apa itu ABS (Anti-lock Braking System), maka saya tidak akan membahasnya. Lha piye? Ndak ngerti og.

Bahkan jika boleh, apapun jenis job yang diberikan, mau itu review motor sekalipun, kalau tidak mengerti, saya, lebih baik tidak. Ibarat nongkrong di warung kopi, ngomong ngeciwis tapi ndak ngerti apa yang diomongin. Jika ada yang bertanya, hanya plonga-plongo. Garuk-garuk pala nih pakdhe.

Baca juga: Ngapain Takut Bikin Perubahan?

Huruf T mengajarkan untuk mendalami suatu bidang. Entah itu niche yang segmented atau topik yang benar-benar dikuasai. Tidak perlu iri dan cemas jika orang lain memiliki topik yang sangat 'wah' dan memiliki penghasilan dari sana.

Lha gimana, dia expert di bidangnya kok. Lha sampeyan? Topik apa aja diembat. Ndak ngerti juntrungannya yang penting sikat. Bodo amat.



Jika digambarkan dengan huruf T, maka sampeyan itu huruf T yang rakus. Enggan berbagi space dengan huruf disekitarnya. Semuanya disuruh minggir supaya disemua tempat, sampeyan bisa terlihat.

Namun, jika huruf T dengan makna mendalam, ia akan berbagi tempat dengan yang lainnya. Huruf disekitarnya boleh mendekat. Huruf T ini sadar (tidak seperti sampeyan) bahwa melebarkan garis horizontal tidak pada tempatnya itu kurang baik. Memakan tempat orang lain yang justru lebih pantas dari dirinya. Ia sadar, maka lebih bijak untuk memanjangkan garis vertikal yang ia miliki. Walaupun ia tau, porsi sebelah sangat menjanjikan, tapi itu tidak benar.

Melalui artikel ini, saya hanya ingin mengajak untuk membuka mata. Belajar dari huruf T yang (seharusnya) memberikan kebijaksanaan bukan rasa iri dan rakus memenuhi hasrat diri. Bukan saling sikut karena ingin karena iri hati.

Terkadang, kita mungkin lupa, bahwa dunia dan seisinya hanyalah sementara. Tidak selamanya bisa kita genggam dan kuasai. Berusaha untuk sabar dan nerimo ing pandum. Rejeki ndak bakal kemana.

"Tapi kan gue pengin banget ikut acara ini itu. Bisa jalan-jalan gratis ke Timbuktu selama dua tahun sama dikasih hadiah sikat gigi elektronik loh! Keren banget dah pokoknya!"

Keren banget mbahmu kiper!
A video posted by Arif Munandar (@jungjawa) on

Form factor dari Xiaomi Yi 4K sendiri sudah membuat saya jatuh hati. Bentuknya yang ringkas dan minimalis dengan fitur hampir 'sama' dengan GoPro Hero 4. Siapa yang menolak untuk meminangnya?

Ketika akhirnya memilih, saya juga ikut memikirkan budget yang harus dikeluarkan dengan tambahan aksesoris. Ya, action cam rasanya kurang menggigit jika tanpa adanya aksesoris. Minimal seperti waterproof case dan monopod.

Baca juga: Xiaomi Yi 4K: Siap Bersaing dengan GoPro?

Ada beberapa poin yang membuat saya sedikit was-was saat meminang gadget ini. Khawatir jikalau kualitas gambar, fitur dan video tidak sebaik yang ditawarkan. Ah, jatuh hati memang selalu membuat kita berdebar lebih kencang.

Slow Motion (up to 1/8)

Menyenangkan sekali saat action cam digunakan untuk merekam secara slow motion. Ala-ala Sam Kolder yang sering saya lihat di Youtube. Bagaimana ia mengkombinasikan timelapse dan slowmo dengan begitu apik dan ciamik. Iya sih, editingnya juga juara.



Nah, slow motion di Instagram saya (post IG di atas) adalah slowmo yang dihasilkan oleh Xiaomi Yi 4K ini. Saya mencoba menggunakan perlambatan 1/8. Hasilnya? Maybe I'm dreaming. Smooth sekali bahkan tanpa editing sekalipun. Saya hanya menambahkan filter black and white saja.

Slowmo seperti ini memang baik digunakan untuk slow intro dan digabungkan dengan slow BGM pula, just like Alan Walker - Faded. Ah, dream come true (again).

Baca juga: [Bukan] Review Action Cam Xiaomi Yi 4K: 90% GoPro Hero 4 Killer
Sebenarnya, jika ingin lebih smooth lagi bisa sampai 240fps, sayangnya resolusinya harus turun ke 480p. Huh. Padahal, standar kalo mau bagus ya sebisa mungkin set di 720p. Poin minus nih buat Xiaomi Yi 4K.



Slowmo emang asik untuk menunjukkan landscape, emosi dan activity yang perlu fokus di sana. Ah, jadi ndak sabar buat nyoba slowmo di tempat lain lagi. Hehehe...




Good Ideas. Great Stories.

Feel free if you want to send an email to me and ask anything, or just to say hello!

hello@jungjawa.com

Copyright © jungjawa 2022