Jung - All Post
lebaran-segera-putih

Lebaran
Bagi saya, lebaran adalah momen yang tepat untuk menggemukkan dan menambah berat badan. Rasanya cukup sulit sekali bagi saya untuk menaikkan skala timbangan berat badan. Ya mau gimana lagi, jauh merantau di pulau seberang mengajarkan saya hidup sehat dan tidak berlebih-lebihan dalam mengkonsumsi makanan. Gaya hidup hemat dan sehat adalah manifestasi perlawanan terhadap tingginya konsumerisme atas kapital asing.

Alah ngomong wae pelit!

Lebaran adalah peluang terbesar untuk menggemukkan diri dan menambah kadar kolesterol dalam darah. Siapa yang tidak rindu opor ayam buatan ibumu? Siapa yang tidak rindu ketika nenek menawarkan soto ayam yang sungguh gurih sekali. Sebagai cucu, kurang ajar betul jika saya menolaknya.

Opor ayam via cosmopolitanfm.com
Sesungguhnya, momen lebaran adalah kerinduan akan pesta makan-makan yang membuat perut kenyang. Bagaimana tidak kenyang? Berbagai camilan sederhana yang kalorinya nggak sesederhana cara makannya tersaji dengan tersistematis.

Siapa yang sadar jika gerombolan nastar menyerang mata kita sejak pandangan pertama? Sejenak kemudian pasukan nastar sudah digeremus oleh gigi-gigi yang lapar akan kalori. Belum selesai berurusan dengan nastar, tawuran dengan kastangel pun tak dapat dihindari. Merasa sudah aman? Serangan terakhir dari cabe-cabean bernama putri salju mulai menggoda hasrat dan iman kita yang gemesh.

Serangan demi serangan dari berbagai jenis makanan ringan tersebut disajikan dengan khusnul khotimah bagi siapapun yang melahapnya. Tanpa harus mempedulikan lagi lingkar perut yang ingin segera tobat maupun berat badan yang semakin maksiat. Penting enak! Gratis! Lahap sampai habis!

Puasa ramadan yang menurunkan berat badan untuk sebagian orang membuat hukum pesta makan pada saat lebaran menjadi fardu ain. Apapun makanan yang masuk ke dalam perut tidak perlu di filter lagi. Mbok kiro Instagram, ndes!

Mengamalkan ajaran das wareg das weteng lebih utama daripada anjuran kesehatan dari dokter gizi. Lebaran adalah hari yang paling afdol untuk menyantap makanan dan memuaskan hasrat yang terpendam selama satu bulan penuh.

Biasanya, setelah makan besar, seluruh anggota keluarga yang berkumpul selalu memiliki waktu untuk saling bercerita. Entah tentang pekerjaan yang belum juga didapatkan maupun tentang perjalanan mudiknya yang terlewat sedih jika harus didengarkan berulangkali. Siapa yang memiliki derita perjalanan mudik terberat dianggap paling hebat dan paling pantas untuk dikagumi.

"Kemarin saya macet, 2 hari 2 malam. Gile, pusing bener!"

Sungguh aneh bin ajaib. Kesulitan yang didapatkan kok ya malah dibangga-banggakan. Saya sendiri sering tertawa cekikikan kalau mendengarnya. Sudah hidup jadi wong cilik dan susah kok ya bangga atas kesusahan yang didapatkan. Duh gusti, paringono sabar.

Lebaran juga tidak luput dari orang-orang yang ingin terlihat putih. Baik secara jasmani dan rohani, kita menginginkan diri menjadi lebih putih lagi. Mulai dari sandang yang dibuat serba putih dan broadcast minta maaf yang tak seputih susu dan sebening air. Mungkin saja yang bilang nggak seputih susu dan sebening air kurang menikmati secangkir kopi. Mungkin loh ya. Memangnya saya peramal, bisa tahu segala hal?

Jika putih identik dengan suci dan bersih, apakah pantas mengatakan kopi demikian hina dengan rasa pahit karena warnanya yang hitam pekat? Mungkin nikmatnya hitam dan pahitnya rasa kopi itulah yang membuat kita memahami arti putih dan bening.

Ah apa iya?

Tradisi lebaran kerap dijadikan pagelaran seni harta. Siapa yang sukses selama setahun terakhir dan kabar mengagumkan apa yang didapat. Pameran rupa-rupa kehidupan dunia untuk masa depan yang lebih baik.

Wajar saja, sebab menampilkan diri dari sudut pandang yang terbaik adalah sifat dasar manusia yang butuh eksistensi dan pengakuan diri. Lebih utama daripada merapatkan barisan shalat. Salam-salam yang kikuk harus dilakukan dengan cara meminta maaf yang terlihat sungguh-sunggu. Padahal ya baru pertama bertemu kok ya udah minta maaf saja. Mantan, kapan minta maaf? Kan sedih :(

Lebih-lebih ketika saling berkunjung dan berkumpul. Lantaran tidak saling kenal, membuka gawai adalah pilihan yang bijak daripada saling tegur sapa untuk berkenalan. Mirip-mirip mati gaya ketika ditanya pertanyaan tentang pernikahan yang menjadi template utama tradisi lebaran.

Mbok ya paham sedikit. Jomblowan dan jomblowati yang ditanya kapan nikah itu bukannya nggak mau nikah. Tapi ya mohon dicarikan. Justru mahasiswa KKN seperti Ilham Bachtiar yang mau bikin kuliah-kerja-nikah-tapi-kok-nggak-dapet-dapet itu yang harus lebih dikasihani.

Momen lebaran menjadi semakin indah dan damai dengan mekarnya senyum dari jomblowan dan jomblowati. Selain itu, taraf kebahagiaan secara tidak langsung akan memutihkan jiwa dan mencerahkan senyum.

Kita tidak bisa memaknai putih tanpa adanya hitam yang ada dalam diri. Kita paling malas menghitamkan diri dan lebih memilih menjadi putih. Meskipun putih itu kualitas KW 3 pun tak masalah. Yang penting tidak terlihat hitam.

Gemar mengkotak-kotakkan warna tentang baik dan buruk adalah sesuatu yang wajar. Namun, menjadikannya suatu pandangan negatif dan tak patut dicontoh sehingga wajar untuk dihina adalah kasus yang berbeda. Sebab, bagaimana menjadi baik jika tidak mau mengkoreksi diri? Munafik jika harus membenci hitam sebenci-bencinya dan posesif dengan putih.

Lebaran dan momen untuk mereka yang ingin terlihat putih akan selalu ada. Tapi, ya mau gimana lagi, seringkali warna putih terlihat lebih menarik. Presepsi setiap orang berbeda-beda, itulah yang membuat hidup menjadi lebih indah. Mau segera putih kok ya masih seneng rasan-rasan, kan gimana ya.

Pokoknya gini, lebaran dan warna-warna yang menyertainya itu selalu indah untuk diperbincangkan. Bahkan dijadikan guyonan dan diperkosa menjadi sebuah broadcast minta maaf, itu sudah wajar. Tradisi lebaran yang gurih seperti soto ayam dan tentu lezat seperti nastar adalah momen yang dirindukan setiap tahunnya.

Sudah dulu ya, sepiring opor ayam sudah dihidangkan oleh ibu. Saya ingin menyantapnya.




Header image credit: https://gudeg.net


Data. Entah siapa yang menemukan kata ini untuk merepresentasikan catatan atas kumpulan fakta atau sebuah angka yang terukur, jujur, saya sudah bosan mendengarnya. Bukan karena sentimen negatif terhadap penemunya, namun jika kita terlalu data-oriented dan menjadikan segala keputusan yang kita ambil berdasarkan data-driven. Itu bisa fatal.

Okay, untuk asumsi fatal yang di atas, saya tidak memiliki argumen pendukung. Jadi, jangan terlalu dipikirkan kesimpulannya.

Apa yang menyebabkan saya bosan dengan data? Pertama, disajikan dalam angka. Entah data tersebut kemudian diolah menjadi kontur, grafik, tabel maupun diagram, pada dasarnya ia adalah angka. Kumpulan angka yang mewakili variabel tertentu.

Bagi kalian yang melakukan penelitian, entah itu untuk gelar sarjana maupun pekerjaan instansi terkait, pasti selalu berurusan dengan data untuk menarik kesimpulan. Tugas akhir saya pun begitu. Harus mengambil data untuk menarik sebuah kesimpulan atas penelitian yang dilakukan.

Kemudian, apakah data yang diambil tadi memiliki nilai kebenaran yang dapat dipertanggungjawabkan? Mungkin penelitian tersebut telah dilakukan dengan metode yang sudah teruji memiliki akurasi yang baik. Oke.

Kemungkinan lainnya, penelitian tersebut sudah divalidasi sebelumnya dengan rujukan dari penelitian sebelumnya. Oke. Namun, kecurigaan saya masih begitu besar terkait sebuah pengambilan data. Apakah itu benar?



Bicara masalah data, kita akan lebih jauh berbicara mengenai sampel. Metode tertentu dilakukan untuk menentukan sampel yang akan kita uji. Baik itu secara kualitatif maupun kuantitatif. Namun, lagi-lagi saya meragukan istilah 'sampel' yang diuji coba. Apalagi jika sampel tersebut adalah human behaviour atau perilaku manusia.

Sebagai contoh sebuah startup atau web company, banyak sekali yang menggunakan data untuk urusan pengambilan keputusan. Data yang diambil bisa perhari, bulan bahkan perjam jika perlu. Kemudian dari data tersebut diolah dan dijadikan dasar pengambilan keputusan. Baik untuk keperluan desain sebuah situs web maupun pengembangan produk dari perusahaan tersebut.

Saya juga seringkali berdiskusi dengan +uni dzalika  terkait masalah data untuk sebuah blog. Tentang bagaimana sebuah data memengaruhi tulisan yang akan dibuat sampai tulisan apa yang akan dibuat selanjutnya. Hal tersebut dapat dilihat dari berapa lama sebuah halaman dikunjungi, banyaknya jumlah halaman tersebut dikunjunggi hingga seberapa banyak orang yang 'membenci' halaman tersebut.

Dan sekali lagi, data tersebut saya pertanyakan dalam hati. Apakah memiliki akurasi yang cukup tinggi? Bagaimana jika keputusan menulis artikel tersebut salah sehingga performa dari blog atau situs web tersebut menjadi kian menurun?

Sebagai contoh, Paijo sedang berselancar di dunia maya. Kemudian masuk ke dalam sebuah blog dengan judul artikel "Apa yang Bisa Kita Lakukan Ketika Terjebak Macet Saat Mudik?". Karena Paijo sedang browsing di kantor, ia menandai halaman tersebut dan menyimpannya ke dalam aplikasi Pocket atau Instapaper agar bisa dengan mudah dibaca nantinya. Entah itu di kereta dalam perjalanan pulang atau di rumah nantinya.
New Visitor vs Returning Visitor

Dari kasus di atas, durasi Paijo mengunjungi halaman tersebut mungkin hanya sepersekian menit. Saya asumsikan kurang dari satu menit. Apabila kondisi tersebut dialami oleh sebagian besar pengunjung artikel tersebut, masuk-bookmark-keluar. Maka, artikel tersebut akan memiliki average time on page yang sangat rendah. Apakah average time on page tadi dapat mengindikasikan konten tersebut tidak disukai? Belum tentu.

Itu baru bicara masalah durasi yang mungkin saja artikel tersebut memiliki panjang lebih dari 1000 kata. Cukup panjang bukan?


Designing with Data

Kasus yang sama juga dialami oleh desain suatu perangkat yang berinteraksi dengan manusia. Tidak hanya konten website, desain sebuah mobile app juga bergantung dari data yang diambil. Seperti desain sebuah call to action button, entah ingin diberi warna hijau maupun biru yang bisa dilakukan adalah melakukan validasi.

Mobile app design via graphicloads.com


Bisa dengan berbagai macam cara, seperti mewawancarai langsung pengguna web atau mobile app tersebut maupun mengambil kesimpulan dari data yang sudah ada. Mungkin saya adalah orang yang sedikit pro asumsi, dimana ketika banyak orang yang menyarankan untuk menggunakan A/B testing atau menggunakan tools, saya cenderung tidak terlalu memusingkannya.


Bukan berarti saya anti terhadap keputusan berdasarkan data, tapi lebih kepada mengkhawatirkan data yang tidak akurat dan bernilai salah dengan margin kesalahan yang sangat tinggi. Seringnya, saya menggunakan data untuk mendukung asumsi yang saya buat. Sebab, bagi saya, data tidak bisa berbicara dengan nada "Wah ini bagus! Tapi kurang ini deh".

Belum lagi metode pengambilan data yang dilakukan. Apakah data tersebut sudah mencakup seluruh data yang ada? Apakah metode maupun tools tersebut mampu meng-gather seluruh sistem data yang ada atau hanya sebagian kecil saja?

Fluktuasi data yang tidak dapat dihindari


Sebab, segala sesuatu mengalami perubahan setiap waktunya. Kita tidak pernah mendapatkan kondisi yang benar-benar steady. Tentunya sebuah data selalu mengalami fluktuasi, apalagi jika terkait human behaviour, Entah itu kondisi ekonominya, kesukaannya, tren lingkungan sekitarnya dan lain sebagainya. Dan, sebuah pengukuran data hanya bisa mengambil sebagian kecil tren yang terjadi dalam rentang waktu yang cukup sempit dan skala yang dangkal.


Manipulasi Data

Sebuah kumpulan angka dalam variabel rentan sekali untuk dimanipulasi. Baik manipulasi secara langsung terhadap statistik variabel tersebut, maupun manipulasi dengan cara 'mengakali' pengambil data. Sehingga, data yang terambil memiliki nilai yang diharapkan.

Oke, saya akan coba memberi contoh terkait perhitungan Page View sebuah blog maupun website. Untuk menaikkan jumlah Page View sebenarnya cukup mudah, yakni memaksa user atau visitor mengunjungi halaman tersebut berkali-kali. Mungkin kita sudah cukup familiar untuk memblokir akses dari IP milik kita saat membuka halaman blog milik sendiri. Oke, saya setuju jika data yang diambil dari Page View tidak memperhitungkan kunjungan dari pemilik blog tersebut.

Ah Page View! You lie!


Masalahnya, jika kita melakukan total Page View sebuah blog, persebarannya tidak merata. Tidak semua konten blog tersebut memiliki jumlah Page View yang sama. Beberapa artikel memiliki jumlah Page View yang lebih dominan daripada yang lain. Ini disebut konten pilar dari blog tersebut. Namun, jika kita mengklaim blog tersebut memiliki seribu kunjungan per harinya, apakah pantas menyebutkan bahwa blog tersebut memiliki data yang cukup baik.

Jika saya sebagai pengiklan, tentu akan lebih selektif memilih blog untuk dijadikan mitra. Sebab, bisa jadi ia mampu membuat sebuah konten yang bagus namun tidak memiliki kapabilitas untuk menaikkan konten lain, terutama konten bersponsor. Sehingga saya tidak akan berasumsi terhadap data yang ditunjukkan oleh blog tersebut.

Sebaiknya asumsi data dilakukan ketika kita sudah memiliki visi. Selain itu, kita berada ditengah-tengah obsesi data. Hampir seluruh industri selalu mengatakan data ini itu dan menerbitkan infografiknya sendiri. Dan semua hal itu selalu berdasarkan data untuk memberikan asumsi-asumsi. entah itu benar atau salah.

Jawaban dari pertanyaan di atas, "Seberapa penting asumsi data?" sebenarnya cukup sederhana. Jika algoritma ranking di Google dapat dimanipulasi dengan teknik SEO, artinya data dapat dimanipulasi nilai kebenarannya. Hanya saja, mungkin teramat sulit untuk memanipulasi data tersebut.

Kesimpulannya, data bukanlah asumsi yang harus dipercaya tanpa adanya visi. Begitu pula sebaliknya, keduanya dapat saling mendukung untuk dijadikan sebagai dasar pengambilan keputusan.
mengatasi pesimisme berlebihan


pe:simisme/n paham yang beranggapan atau memandang segala sesuatu dari sudut buruknya saja
Terlalu berlebihan nggak sih kalo kita anggap generasi muda sekarang lebih sering memandang pesimis berbagai permasalahan yang ada? Contohnya aja kalo asik ngebahas permasalahan politik dan isu-isu sosial. Ujung-ujungnya sering nyalahin orang lain daripada nyalahin diri sendiri. Kok gitu? Yaiyalah, mana ada yang mau nyalahin diri sendiri.

Padahal untuk menyelesaikan suatu masalah, kita bisa melihat dari sudut pandang yang paling mudah. Sebab kalo kita sudah terlanjur memanggap rumit suatu hal, maka hal lain juga akan terlihat rumit oleh kita. Ya kan belum tentu loh bro.

Permasalahan yang kita hadapi mungkin simpel dan nggak serempong yang kita bayangkan. Sebagai contoh kita bisa lihat startup yang udah ada deh. Mereka yang sukses emang pada dasarnya menyelesaikan berbagai masalah dasar dengan cara yang sederhana. Bukannya memandang dari sisi negatif, mereka justru mengkonversi sisi yang kita pandang sebelah mata menjadi sebuah produk yang mampu membantu banyak orang.

Jadi gini, nggak mungkin kan ketika kita ngebangun sebuah startup, diawali dengan rasa pesimis duluan. Soalnya, sekeren apapun idenya, startup kita nggak bakalan bisa bikin layanan yang lebih baik kalo dibayang-bayangi oleh pesimisme. Gimana mau bikin layanan yang baik dengan cara setengah hati?

optimisme dalam gelas
via anexactinglife.com


Ya sederhana aja. Tahap awal memulai startup emang gak gampang. Selain bikin tim yang solid, motivasi tim harus dijaga sejak awal. Menurut gue, elemen krusial dari sebuah startup adalah founder itu sendiri. Kalo gue perhatikan, ide startup yang ada ya gitu-gitu aja. Tapi makin lama banyak startup yang mati. Entah itu 3 bulan pertama sampai 1 tahun pertama terus hilang. Bahkan yang produknya belum launching sekalipun, sudah lebih dahulu bubar karena kehilangan motivasi.

Buat yang udah bubar dan hilang sama sekali, jangan pesimis. Evaluasi kegagalan yang ada dan bikin sadar diri buat nggak ngulangin kesalahan yang sama. Tapi ya itu tadi, kita harus punya mental baja. Anak muda kok gitu aja udah nyerah. Gitu aja udah ngerasa pesimis dan nggak bisa ngelakuin. Kalo masih muda ya saatnya buang jauh-jauh rasa pesimis tadi.

Kalo kita ngelihat sesuatu dari buruknya aja ya mau sampai kapan kita tetap stuck disitu aja. Nggak bisa kemana-mana deh.

Nah, buat yang sering ngerasa pesimis dan nggak pede, jangan gitu deh. Jangan berpikir akan gagal dan kemudian menyerah, karena gimana caranya sukses kalo pesimisme sering melanda mental kita. Bersyukurlah ketika mengalami kegagalan, karena kita hidup di jaman dengan teknologi yang memudahkan kita untuk belajar dan terus berkembang. Bahkan, kegagalan orang lain dapat kita temukan dengan nanya ke Google.

“Okay Google, apa salah startup saya?”


Image credit: gratisography.com
via-vallen-dangdut-cerdas.jpg

"sayang opo kowe krungu jerite atiku
mengharap engkau kembali
sayang nganti memutih rambutku
ra bakal luntur tresnaku"
Sayang - Via Vallen

Sebagai warga negara yang rutin melakukan perjalanan mudik, saya sering mengamati perilaku sekitar. Entah mengapa, saya memiliki pertanyaan yang sedikit nyeleneh: bagaimana seorang kondektur memiliki ide brilian untuk menggabungkan nuansa goyangan bus diiringi oleh alunan musik dangdut?

Bagi saya, musik dangdut memiliki khasiat tersendiri untuk memberikan nuansa sakral dalam perjalanan Surabaya-Solo. Nuansa yang membuat saya rindu dan ingin berlama-lama disetiap kilometernya. Kan saya sudah pernah bilang, jika harus memilih antara Isyana dan Via Vallen, adalah problematika yang cukup rumit.

Walaupun begitu, ‘Dangdut’ sering dipandang sebelah mata sebagai musik kelas menengah ke bawah. Padahal, bagi saya, musik ya musik, ndak ada pake kelas. Kalo pake kelas ya namanya kelas musik, di sana kita belajar tentang musik. Ya, tho?

Saya sendiri seringkali merasa heran tentang goyangan musik dangdut yang dianggap negatif. Goyang dangdut adalah sebuah ekspresi atas nikmat alunan dangdut yang didengarkan. Pendengar setia musik dangdut mencoba untuk mengapresiasi musik yang dimainkan dengan menikmatinya. Salahkah kami jika harus bergoyang? Kami bergoyang murni untuk menikmati. Tidak ada niatan sedikit pun dari kami untuk mengganggu bahkan merendahkan musik lain.

Mungkin jenis musik kami terlihat kampungan, slengean dan nggak aturan. Tapi ya, inilah kami, mencoba menikmati dengan cara kami sendiri. Mungkin, sampeyan belum pernah mencoba mendengarkan alunan merdu suara Wiwiek Sagita, Via Vallen atau bahkan Mas Didi Kempot. Cobalah sekali-kali, siapa tahu sampeyan bisa jadi member FDI (Front Dangdut Indonesia) garis keras.

Baca juga: Apa Artinya Kenyamanan dan Kesempurnaan?

Saya mendengarkan musik dangdut sejak lahir. Ya, dangdut yang tidak hanya jenis aslinya saja. Ya dangdut koplo, dangdut campursari, melayu dan sebagainya. Walaupun begitu, wawasan saya di dunia perdangdutan cukup sempit, hanya beberapa yang populer saya cukup kenal. Tapi tetap saja, setiap kali mendengarkan musik dangdut, saya merasa memiliki dunia tersendiri. Musik dangdut memiliki nuansa irama seperti EDM (Electronic Dance Music) namun dengan topping yang sedikit berbeda. Belum lagi dari kedalaman makna disetiap baris lirik yang dinyanyikan.

Seperti yang saya bilang tadi, wawasan perdangdutan yang saya miliki ndak luas-luas amat. Tapi saya cukup gerah jika harus ada yang bermasalah dan memandang sebelah mata musik dangdut. Semua orang memiliki preferensi pribadinya masing-masing. Hambok ya ndak perlu dipaksakan. Selama tidak mengganggu kalian, jangan pernah merendahkan kami. Inilah pilihan hidup kami!

Jadi begini, sampeyan yang belum pernah dan ingin menikmati musik dangdut boleh mencoba saran saya. Silakan naik bus jurusan Jogja-Surabaya atau sebaliknya. Tapi sebelumnya tanyakan dahulu kepada kondektur, apakah akan memutar musik dangdut sepanjang perjalanan atau tidak. Jika tidak, cari bus lain. Buat apa naik bus jika tidak bergoyang dengan musik dangdut? Lak yo lucu!

Sudah, itu saja. Pokoknya, nikmatilah musik dangdut selagi bisa. Karena bagi saya, musik dangdut adalah tentang bergoyang. Dan menikmati setiap jalan berlubang yang dilewati bus bersama dengan musik dangdut adalah kombinasi yang cerdas.

*Via Vallen - Sayang*

"hari demi hari uwis tak lewati
yen pancen dalane kudu kuwat ati
ibaratke sego uwis dadi bubur
nanging tresno iki ora bakal luntur"

Image credit: timlo.net

Artikel ini pertama kali saya publikasikan di Katanium dan dipublikasikan kembali di blog ini dengan sedikit perubahan.
toro-rosso-kenapa-f1-jangan-ditonton


Boleh setuju atau tidak, sosok Max Verstappen mengingatkan saya akan Fernando Alonso semasa mudanya. Max mencatatkan diri sebagai pebalap termuda di Australian Grand Prix 2015 pada usia 17 tahun. Menurut saya, Max layak disebut wonderkid yang akan menantang hegemoni seluruh konstruktor terbaik tahun 2016 ini, termasuk Mercedes.

Hegemoni Mercedes sebagai juara konstruktor F1 tahun 2015 harus mengalami insiden pahit di sirkuit Catalunya. Mercedes yang selalu mendapatkan posisi terbaik pun seakan-akan menjadikan mobil balapnya lelucon dan hiburan bagi penonton. Entah disengaja atau tidak, lucu saja melihat pertarungan Nico dan Hamilton ditikungan ketiga.

Duka Mercedes tidak berhenti begitu saja pada kecelakaan dua pilot mereka. Mungkin hanya kebetulan, tersingkirnya Nico dan Hamilton membuat cah cilik Max Verstappen merebut kemenangan perdana di gelaran Formula 1. Ah, sudah jatuh, diejek bocah cilik pula.

Dominasi kuat Mercedes seperti telah usai masa berlakunya. Pindahnya Max dari Toro Roso ke tim RedBull Racing berhasil merusak hegemoni dua pebalap Mercedes. Bahkan, Max seringkali berani berduel dengan pebalap senior yang membuat teman nonton saya bergumam, "Ngawur juga ini anak".

Kemudian dengan umur yang sangat muda dan disiarkan keberbagai penjuru dunia, apakah Max akan menginspirasi semua orang, terutama anak muda? Kekhawatiran saya muncul ketika komentator stasiun tv lokal pun berujar dan membandingkan usia Max dengan dedek-dedek SMA negeri ini.

Ketahuilah bung, dunia balap motorsport dan bangku SMA itu berbeda. Mengapa berbeda? Karena ia tidak bisa disandingkan seperti balapan anak jalanan. Ya, walaupun serial tentang topik tersebut terlalu serius untuk diperbincangkan.

Itulah mengapa balapan Formula 1 tak usah ditonton. Ia selalu memiliki penggemar tersendiri. Sirkuit balap mencontohkan hal yang tidak patut untuk ditonton. Contoh buruk dari adu kecepatan yang berujung pada perdebatan siapakah yang paling cepat dan membahas siapa yang paling lambat.

Atau seperti insiden di Rusia tahun ini antara Kvyat dan Vettel. Menabrak adalah hal yang legal. Ya, walaupun ada race director yang bertugas untuk melakukan investigasi, tetap saja. Balapan tidak dapat diulang.

Stop Comparing Yourself to Others

Tidak perlu membanding-bandingkan umur anak kuliahan dan Hamilton yang menjuarai F1 pada usia 22 tahun. Sebab semua orang memiliki pilihan dan jalan hidupnya masing-masing.

Sedikit catatan untuk stasiun tv kita. Balapan bukan arena candaan. Dunia motorsport tak perlu diberbincangkan dengan guyonan yang mungkin tidak segemes celana gemes dedek-dedek SMA. Apa salahnya jika lebih memberikan edukasi balap yang lebih serius? Apa salahnya membahas drag reduction system dan track yang bumpy disetiap balapan? Tidak ada yang salah. Justru itu yang kami inginkan.

Alasan mengapa balapan Formula 1 tak layak ditonton adalah keinginan diri saja. Sebab, dua jam mendengar deru debu jet darat akan lebih baik daripada menyimak mereka yang tampaknya terobsesi menjadi host dengan guyonannya.


Image credit: pixabay.com
kita-bisa-jadi-super-hero.jpg


Anybody’s got the power
They don't see it cause they don't understand
Potongan lirik di atas gue ambil dari lagunya Alesso yang berjudul Heroes. Lagu yang berjenis EDM (Electronic Dance Music) dari Alesso feat Tove Lo yang selalu menemani gue lembur. Ya, selain iramanya yang nggak begitu ngebeat, gue juga mulai sadar, lagu ini keren abis.

Apalagi setelah rilisnya Captain America: Civil War. Gue yakin kalo setiap orang itu punya power alias kekuatan yang tentunya beda-beda. Contohnya aja si Steve dan Tony. Mereka adalah dua elemen utama yang menjadi pokok perhatian penonton. #TeamCap vs #TeamIronMan

Jika ditanya, ‘jika semua orang punya kekuatan, apakah kita semua adalah superhero?’

Lanjut ke kalimat selanjutnya dari lirik di atas, 'they don't see it cause they don't understand'. Nah, dari sini lo bisa paham kalo sebenernya kita punya kekuatan. Tapi, nggak ngerti apa dan bagaimana kekuatan milik kita tadi bisa dimanfaatkan. Padahal sebenarnya sederhana, kekuatan yang kita miliki tadi bisa dipake buat ngebantu orang lain. Pernah denger gak, seseorang yang pernah ditolong terus bilang 'You're my hero' sama orang yang udah ngebantu dia?

Sama kek Steve di Civil War. Dia nggak ngerti gimana manfaatin kekuatannya sebagai superhero yang tentunya disertai dengan kebijaksanaan. Oke, secara fisik, Steve unggul dari yang lainnya. Tapi apakah Steve (dan tentu superhero lainnya) bisa mengkontrol ego milik mereka? Gue jadi inget pesan dari Vision nih. Intinya gini, kalo lo ngerasa apa yang lo lakuin itu benar, tapi cara yang lo lakuin itu salah, itu adalah bencana!

We can do anything

Terus kalo realisasinya di dunia nyata apa dong? Tentunya, kita bisa jadi pahlawan setiap orang tanpa harus memiliki kekuatan superpower. Sebab, superhero yang kita liat (kalo dari film) selalu punya kekuatan super. Lah, kan ya gak mungkin dong kita lakuin di dunia nyata?

I know you hear me now, we are a different kind
We can do anything

Contoh real adalah kalo lo liat startup deh. Fokus utama dari kebanyakan startup adalah membantu permasalahan orang lain. Ya mau seperti apa startup yang ada, fokusnya adalah membantu mencari solusi terbaik plus dengan bantuan teknologi. Startup ngebantu nyelesein mulai dari permasalahan yang paling sederhana dan sepele sampai ke tingkat permasalahan yang rumit. Boleh dong ya kita sebut mereka superhero?

Mereka yang bekerja mewujudkan startupnya selalu memiliki misi untuk membantu orang lain, solving other people problems. Sehingga, mereka adalah real superhero yang udah ngerti apa dan bagaimana caranya manfaatin kekuatan mereka tadi.

Instead of doing ordinary things like scrolling timeline, mereka ngerti harus ngapain. Tapi muncul pertanyaan lagi, apakah semua orang harus menjadi seorang founder startup untuk menjadi superhero? Belum tentu. Kita bisa aja join dengan mereka yang udah memulai duluan, kan daripada bikin dari nol, lebih baik kita kerjain bareng. Toh, kalo emang misinya sama, kenapa harus berbeda?

Kecuali lo emang punya cara yang berbeda untuk ngebantu orang lain. Lagipula tujuannya tetep sama kok, nyelesein masalah orang lain, kan?

Lebih Peka Buat Orang Lain

Contoh yang lebih kecil lagi nih, lo gak perlu kekuatan super buat jadi superhero. Tapi, lo harus jadi orang yang lebih peka buat mengamati permasalahan orang lain. Setelah lo amati, selanjutnya lo harus fokus sama apa yang bisa lo lakuin buat mereka.

Misalnya aja lo adalah desainer dan kebetulan aja lo punya temen yang nggak ngerti caranya bikin logo buat usahanya. Padahal produk yang ia jual itu bagus banget, sayangnya dia nggak ngerti caranya bikin branding produk tadi secara visual. Dia cuman ngerti gimana caranya bikin produk yang bagus, nyelesein masalahnya si konsumen dan bikin mereka puas.

Nah, daripada keahlian desain yang lo punya itu percuma, sekali-kali lo bisa aja ngebantu temen lo tadi. Asalkan orientasi lo jangan duit dulu. Iyasih gue pernah nulis tentang harga temen. Tapi nggak gitu juga. Lagian kalo usahanya sukses, lo juga bisa kena imbasnya. Direkomendasiin ke temen-temen sesama pengusaha temen lo tadi, misalnya.

In a nutshell? Kita emang gak punya kekuatan superpower layaknya seorang superhero. Tapi kita punya kemampuan turunan dari para superhero. Karena hero sejati bukanlah mereka yang memiliki kemampuan super. Di dunia nyata, hero adalah mereka yang memiliki pemikiran super dan tentunya digunakan untuk membantu orang lain.

You want to be a hero? Cobalah untuk lebih peduli pada permasalahan yang ada. Kemudian pelajari apa yang bisa kamu lakukan. Selanjutnya, eksekusi.

It makes the world a better place, one little step at a time


Header image credit: youtube.com

"Dia mulai lapar"
Masih ingat nggak sih? Ada iklan lokal yang dengan epic banget ngomongin seseorang yang lagi lapar dan ngomel sampe bikin temen-temennya kesel. Nah, dari situlah jadi rame kalo ada yang ngomel-ngomel itu artinya dia lagi lapar. Bahkan kalo kita nggak fokus dengan suatu hal, kita dianggap 'mulai lapar'.

Ya karena orang lapar, cenderung emosinya nggak normal dan bawaan nya pengen ngomel. Salahin glukosa aja deh kalo ada yang lagi laper dan marah-marah. Karena kadar glukosanya yang turun, makanya dia butuh yang manis agar rasa marahnya berkurang.

Tapi, apakah selamanya kita harus kenyang sih? Padahal ada saat yang tepat bagi kita untuk nggak melupakan rasa lapar. Sayangnya, kalo udah kenyang, kita seringkali lupa dan terlena. Eh, ini bukan ngomongin lapar dan kenyang yang sebenernya loh ya. Tapi dalam arti kiasan. Gitu.

Baca juga: Apa Artinya Kenyamanan dan Kesempurnaan?

Salah satu nilai yang gue percaya ketika lapar adalah 'lack of access'. Ketika lapar, kita memiliki kekurangan akses untuk memuaskan rasa lapar yang ada. Kenyataannya, kita cenderung mencari cara untuk melewati barrier atau batasan yang menghalangi kita untuk menjadi kenyang.

Kenapa gue percaya dengan 'lack of access'?

Semasa kuliah, gue pernah bergabung dengan sebuah tim dan bekerja pada sebuah project untuk berkompetisi. Karena fasilitas laboratorium dari kampus yang terbatas, kami sadar dan enggan menuntut yang lainnya. Lebih baik kami fokus untuk bekerja dengan fasilitas yang udah ada. Nggak perlu manja karena dewasa adalah kematangan untuk mengendalikan ego.

Ya, tentu kami berusaha keras untuk mewujudkan project yang kami kerjain. Walaupun kami sebenarnya ya emang lapar banget. Lapar fasilitas dan pengen banget punya sarana dan prasarana yang memadai.

Akhirnya, dengan rasa lapar yang hebat. Project kami mampu bersaing untuk mengikuti kompetisi tersebut. Usaha yang membuahkan hasil ya dari rasa lapar tadi.

Lack of access

Kalo lapar, gue sering kurang fokus. Tapi rasa lapar ngasih tau bahwa ada banyak hal yang harusnya dilakukan dengan segera. Mengingatkan tentang project yang perlu dikerjakan.

Pengalaman rasa lapar dibanyak hal bisa kita manfaatin biar punya mindset yang bagus. Seorang pemburu tentu sudah mengalami banyak sekali kelaparan dalam hidupnya. Sehingga ia akan tahu, waktu dan tempat yang tepat untuk menemukan rusa buruannya.

bagusnya-lapar-biar-mikir
via www.picturequotes.com


Rasa lapar bisa kita asah untuk menjadi skill. Tentu dengan menjadikannya skill yang berguna dan dimanfaatkan untuk orang lain akan jauh lebih baik. Tim sepakbola misalnya, untuk mengikuti sebuah kompetisi, mereka pasti haus akan gelar dan lapar untuk menjadi juara. Itulah yang mendorong mereka untuk berjuang memperebutkan gelar juara.

Baca juga: Berhentilah Marah-marah, Mulailah Bersabar

Apalagi kalau kamu bekerja disebuah startup, mulailah rasa laparmu dengan mengerjakan project kecil sendiri. Membuat sebuah milestone seperti bagaimana akuisisi pengguna pertama, kemudian dilipatgandakan menjadi 100 pengguna, 10.000 pengguna dan seterusnya. Rasa lapar akan mendorong kita melebihi ekspektasi yang kita miliki.

Rasa lapar selalu kita hadapi mulai dari pagi sampai malam. Tapi jangan sampai lupa, ada banyak hal yang bisa kita pelajari dari kelaparan yang kita rasakan setiap hari. Tentu saja, rasa lapar nggak bisa kita selesaikan dengan ngetwit 'Duh, laper nih'

Kecuali ada gebetan yang nganterin sekotak martabak manis 5 menit kemudian. Hehehe.... :p

Good Ideas. Great Stories.

Feel free if you want to send an email to me and ask anything, or just to say hello!

hello@jungjawa.com

Copyright © jungjawa 2022