![]() |
Ruwet yowisben, cuman punya foto catatan kayak gini |
Halo...
Mungkin hanya satu kata di atas yang bisa saya ucapkan untuk membuka artikel blog ini. Setelah sekian lama saya tidak menulis. Bukan tidak sempat. Bukan tidak ingin. Bukan sengaja membiarkan.
Bukan. Bukan hanya itu.
Kembali menulis blog adalah kembalinya saya ke tempat logika berpikir yang bisa diasah. Tempat di mana otak yang diciptakan untuk merangkai argumen dan fakta yang berdasar. Kalo bisa dibilang ya, menulis adalah pekerjaan.
***
Ngomongin kerja atau pekerjaan, kalo kita generalisir secara sederhana akan muncul pertanyaan kenapa ya kita harus bekerja. Eits... pertanyaan sederhana seperti ini juga bisa muncul dari anak, keponakan atau cucu kalian.
"Kenapa sih ayah kerja?"Pasti jawabannya kalo mau sederhana ya cuman nyengir, "Biar bisa beliin adek mainan". Sudah, gitu aja?
Padahal jauh dibelakangnya banyak alasan yang cukup kompleks.
You get what you work for, not what you wish for.
Nyatanya dunia kerja itu nggak cuman perihal berangkat pagi dan pulang sore. Seorang MT atau Management Trainee nggak akan segan-segan nyoba belajar di berbagai posisi. Mulai dari data entry engineer sampai cleaning services engineer. Ya, nggak salah sih, soalnya nggak semuanya harus sementereng yang tertera di akun LinkedIn-mu. Apalagi biar dilirik sama kompetitor startup lain.
Kenapa bisa begitu? Biasanya karena kamu palu gada. Apa yang bos lu mau lu ada.
Kerja itu ngga perkara perhitungan rumit materil apa yang didapat dan apa yang diterima. Tapi kamu harus tahu batasannya. Kamu sudah besar, sistem mentoring dan belajar itu bertingkat. Saya kasih tau ya, pada saat elementary school kita dibimbing dan diberi contoh. Lanjut di jenjang berikutnya, contoh demi contoh sudah mulai dihilangkan. Sampailah pada dunia kuliah, tidak ada contoh sama sekali. Kamu harus improve dengan sendirinya.
Akhirnya kamu masuk dunia kerja, sampai akhirnya kembali bekerja. Tidak ada contoh, kamu sendirilah yang memutuskan apakah harus bekerja atau tidak. Ya walaupun ujung-ujungnya harus kerja apa saja asal bisa makan, ya nggak?
Kebanyakan mereka yang bekerja atau kembali bekerja sering merasa tidak kompeten, sederhananya sih nggak pede dengan ability yang sudah mereka asah. Miskonsepsi dari eksekutor juga jamak ditemui asal bos senang.
Kalo boleh dibilang sih ya, semua hal harus dicobain dulu. Namanya juga orang kerja, belajar kerja, atau kerjanya belajar. Nggak cuman kemampuan diri yang diasah, kepercayaan juga harus didapat. Tandain deh, di umur 30-an kamu mau jadi apa. Bekerja atau kembali bekerja? Atau malah jadi pengusaha alias entrepreneur? Hayoloh!
Have a nice day!
Kenapa bisa begitu? Biasanya karena kamu palu gada. Apa yang bos lu mau lu ada.
"Padahal gaji segini doang, kok harus ngerjain ini itu?"
Kerja itu ngga perkara perhitungan rumit materil apa yang didapat dan apa yang diterima. Tapi kamu harus tahu batasannya. Kamu sudah besar, sistem mentoring dan belajar itu bertingkat. Saya kasih tau ya, pada saat elementary school kita dibimbing dan diberi contoh. Lanjut di jenjang berikutnya, contoh demi contoh sudah mulai dihilangkan. Sampailah pada dunia kuliah, tidak ada contoh sama sekali. Kamu harus improve dengan sendirinya.
Akhirnya kamu masuk dunia kerja, sampai akhirnya kembali bekerja. Tidak ada contoh, kamu sendirilah yang memutuskan apakah harus bekerja atau tidak. Ya walaupun ujung-ujungnya harus kerja apa saja asal bisa makan, ya nggak?
Kebanyakan mereka yang bekerja atau kembali bekerja sering merasa tidak kompeten, sederhananya sih nggak pede dengan ability yang sudah mereka asah. Miskonsepsi dari eksekutor juga jamak ditemui asal bos senang.
Kalo boleh dibilang sih ya, semua hal harus dicobain dulu. Namanya juga orang kerja, belajar kerja, atau kerjanya belajar. Nggak cuman kemampuan diri yang diasah, kepercayaan juga harus didapat. Tandain deh, di umur 30-an kamu mau jadi apa. Bekerja atau kembali bekerja? Atau malah jadi pengusaha alias entrepreneur? Hayoloh!
Have a nice day!