Archive for Jungjawa.com September 2017


Sosial media bagaikan dua sisi mata uang. Memberikan kemudahan atau bahkan sebaliknya, memberikan sisi lain yang justru sangat menyebalkan, viralitas artikel hoax.

Saya sering geli sendiri ketika membaca sebuah post yang bahkan dari judul saja sudah sangat tendensius dan bersemangat sekali untuk memojokkan pihak lain. Konyolnya, masih banyak sekali yang percaya akan berita hoax tersebut. Termasuk teman saya sendiri. Duh dek!

Penalaran logika yang sering tidak masuk akal hingga saya geleng-geleng kepala. Bahkan saya sampai menelusuri berbagai komentar yang nyempil di bagian bawahnya untuk mempelajari wabah ini. Ya dari Twitter, Facebook maupun Instagram.

Baca juga: Telegram, Terorisme dan Pro Kontra Pemblokiran, Salah Siapa?

Di kolom komentar tersebut banyak sekali kata-kata kutukan hingga berbagai panorama kebun binatang, bisa kita jumpai dengan mudah. Seru sekali. Kadang, saya kemingkelen ketika harus berjumpa dengan logical fallacy yang terjadi.

Ketika sebuah berita muncul dengan nada kontroversi, baik secara tersirat maupun tersurat, maka tinggal menunggu hitungan jam untuk menjadikannya viral. Sayangnya, kontroversi yang ada tidak disikapi secara skeptis oleh audiens (inilah cikal bakal viralitas). Parahnya, masih banyak yang justru membagikan status maupun twit tersebut tanpa berpikir terlebih dahulu.

Istilah hoax dimulai sejak abad ke-18 yang justru sering dipakai di era digital sekarang ini. Sekali lagi...

Lucu? Memang.

Viskositas internat yang cenderung rendah mampu membuat berita, artikel, opini maupun status-mantan-pacar-kamu bisa menyebar dengan sangat mudah. But, kecepatan menyebarnya artikel tersebut tidak dibarengi dengan kecepatan berpikir dan kemauan untuk melakukan verifikasi kebenarannya.

"Ya ngapain diverifikasi, tunggu sampai ada yang menyanggah aja lah ya, ngapain gue repot-repot"

Hahaha... sebuah pemikiran konyol memang. Sehingga, bimsalabim semua berita hoax akan laris manis layaknya kacang goreng. Pembuat berita pun merasa senang. Apalagi berita hoax yang berada menggunakan kepercayaan sebagai genre utama untuk ditabuh.

Lucu? Memang.

Manusia dibuat seolah-olah tidak memiliki otak. Sebentar, terlalu kasar jika menyebut mereka adalah manusia tak berotak. Lebih baik jika kita sebut dengan manusia yang mengalami degenerasi otak. Lebih halus, bukan?

How to deal with it?

Bahaya dari hoax adalah menurunnya fungsi otak. Ya karena organ tubuh yang jarang dipakai akan mengalami penurunan fungsi dan pada akhirnya tidak bisa dipakai lagi. Mengerikan? Enggak ah, biasa saja kok.

Otak kita akan semakin mengkerut apabila jarang digunakan. Tapi, jika kita menggunakannya untuk hal-hal yang lebih baik seperti melakukan verifikasi berita dan tidak hanya bersumber dari satu channel saja, niscaya otak kita semakin terasah.

Baca juga: Ketika Media Sosial Melahirkan Penulis Handal
Pun dengan memiliki tendensi negatif akan sebuah portal berita bukan merupakan solusi. Contohnya? Beberapa orang menganggap bahwa KompusTV, BIBICI, SI EN EN dan MitrovTV adalah antek aseng yang tak pantas dipercaya.

Well, tidak sepenuhnya salah dan juga tidak sepenuhnya benar. Menjadi judgemental dan menilai hanya dari luarnya saja. Lebih baik bersikap objektif untuk menghadapi portal-portal yang notabene hanya bermodalkan blogspot dan pengalihan domain menjadi .com seperti jungjawa.com ini. Hayoloh...!

Hanya dengan dana sebesar 200 ribu saja portal hoax bisa dengan mudah dibuat. Sedikit template untuk mempercantik tampilan dan pemilihan nama domain yang 'terlihat' dapat dipercaya, maka hoax akan dengan mudah disebarkan. Audiens tidak mungkin memeriksa whois, registrar dan hal lainnya. Mereka tidak mungkin sepintar itu.

Baca juga: Yaudah Baca Buku Aja Dulu

Kenapa? Karena (sekali lagi) mereka adalah orang-orang yang mengalami (tadi kita sudah sebut dengan) degenerasi otak.

What should we do?

Berusaha menjadi pintar adalah pilihan bijak. Well, bukan hanya berusaha hingga sok-sokan menjadi keminter yang keblinger. Bukan, bukan itu maksud saya.

Menjadi pintar adalah pilihan ketika bodoh adalah keharusan karena kondisi diri yang masih belum sadar. Belajar untuk tidak terlihat keminter itu sulit loh guys.

Bijaklah menggunakan jempol digital milikmu!
Cara paling cepat untuk mengatasi berita hoax adalah berhenti melakukan klik terhadap portal-portal berita tendenius disertai judul yang kontroversi-yang-ternyata-situsnya-banyak-iklannya.

Akhir kata, izinkan saya untuk mengutip TED Talk dari Sally Khon yang berjudul Don't like clickbait? Don't click:

"Don't engage with news that looks like it just wants to make you mad. Instead, give your precious clicks to the news sites you truly trust." — Sally Kohn





"Those who not work, shall not eat"
Saya memiliki frekuensi yang cukup tinggi untuk membeli makanan di luar atau sebut saja dengan jajan. Ya, enak sekali.

Bahkan, saya memiliki beberapa warung langganan yang kebetulan entah bagaimana caranya, saya juga suka dengan cita rasa masakan dan tentu saja yang paling penting, harganya.

Mudah saja bagi saya untuk akrab dengan beberapa penjual makanan. Mulai dari teteh-teteh Burjo dan kantin sego pecel di sekitar UNS hingga mas-mas warteg di sekitaran Cawang. Bahkan hingga penjual nasi goreng asal Tegal dengan rasa yang maknyus di Senipah, Balikpapan.

Atau kadang kala, mengisi kekosongan waktu dengan nongkrong di Pesta Buntel bersama penguasa Karesidenan Surakarta, Den Bagus Ilham di Pesta Buntel.

Seringnya intensitas saya jajan tentu menambah frekuensi ngobrol saya dengan penjualnya. Ya, sekadar basa-basi hingga belajar banyak sekali ilmu untuk hidup.

Apa yang bisa saya pelajari dari mereka adalah bekerja (melakukan sebuah pekerjaan yang menghasilkan) apa saja untuk hidup dan hidup untuk memaknai pekerjaan itu sendiri.

Baca juga: Tentang Passion dan Impian yang Lo Kejar

Ya, jual nasi goreng, jualan warteg, jualan sepatu di PGC Cililitan, berdagang sembako dan lain sebagainya. Well, ya kerja apapun asal halal, tidak mengganggu orang lain dan bisa mendapatkan keuntungan.

Lah, ya iya dong, masak kerja nggak untung.

Pasar Bisa Diciptakan Begitu Pun Lapangan Pekerjaan

Menarik sekali memang mendengar cerita para penjual yang saya jumpai. Tapi ada satu hal yang mereka tanamkan cukup dalam.

Bekerja jauh dari rumah untuk meninggalkan zona nyaman dan mendapatkan pendapatan untuk kehidupan yang lebih baik. Dari Tegal terbang jauh ke Balikpapan untuk berjualan nasi goreng. Pergi jauh dari Klaten ke Jakarta untuk berdagang pakaian dan lain sebagainya.

Mereka yang pergi merantau menciptakan pasar. Menjual nasi goreng pun begitu, tidak serta merta memiliki kios untuk berjualan. Dimulai dari emperan toko dan kemudian bisa menyewa tempat.

Pasar bisa menerima. Pasar bisa diciptakan sesuai dengan produk yang kita jual. Terutama untuk kebutuhan pokok, ya jual apa saja. Kerja apa saja. Yang penting bisa makan. Nggak perlu gengsi kerja apa. Toh gengsi nggak bisa memberi kita sesuap nasi untuk esok hari.

Oke mz, kwietiaw goreng versi lompat tali satu ya, pedes!


Tempo hari, Twitter ramai memperbincangkan sebuah twit yang konon dicuitkan oleh seorang selebtwit yang agar lebih mudah bisa kita sebut saja sebagai Paijo.

Paijo berpendapat bahwa orang bekerja sejak pagi dan selama satu hari penuh hingga lembur berjam-jam dan pulang hingga larut malam. Sedangkan upah yang ia dapatkan hanya sekadar lewat saja itu merupakan tindakan untuk mengerjai diri sendiri.

Saya pikir, Paijo masih belum mengerti bahwa pekerjaan bukan hanya perkara gaji. Pekerjaan, pendapatan hingga hiruk pikuk dapur agar mengepul tidak segampang menyebutkan bahwa kita bekerja apa dikerjain.

Kerja Apa Dikerjain? 

Bekerja bukan hanya perihal uang. Kadang saya lebih memilih untuk menjadi bodoh. Sehingga kebodohan, bisa saya pelihara untuk masa depan yang lebih baik.

Masalah pekerjaan tidak semudah terima gaji diawal bulan dan sesulit menumpuk piutang diakhir bulan. Life is unfair.

Terkadang, ada orang yang leha-leha untuk pekerjaannya dan dibayar mahal untuk itu. See? Terlihat gampang sehingga kadang kala sifat asli keluar. Mudah saja untuk menjustifikasi bahwa mereka yang bekerja terlalu keras untuk pekerjaan, sedang dikerjai oleh pekerjaannya sendiri.

Baca juga: Kalau Semua Orang Jadi Entrepreneur, Siapa yang Jadi Pegawai? Atau Sebaliknya?

Kalau dipikir lagi, "kamu siapa?". Memberikan label pada orang lain padahal tidak ada kaitannya dengan orang yang bekerja keras untuk membuat dapur mengepul.
Meminjam kata-kata bahwa keadilan adalah istilah utopis yang tidak mungkin dapat dicapai tatkala kita tidak mampu bersikap adil untuk diri sendiri. Hidup macam apa yang adil?

Apa yang lebih menyebalkan daripada beban pekerjaan? Tidak ada pekerjaan untuk dikerjaan. Apa sih enaknya pengangguran?

Dari hal itu saya sedikit memberikan kesimpulan. Hidup kita tentang pekerjaan, ya berujung untuk memenuhi kebutuhan dasar hidup. Makan. Kalau kita masih mengeluh untuk memenuhi kebutuhan makan (atau bahkan "mengeluhkan" hidup orang lain-yang-nggak-ada-hubungannya) ya boleh dibilang konyol.

Kerja apa saja ya asal bisa makan. Kalau dirasa berat, ada baiknya perlu sedikit introspeksi bahwa mungkin saja hidup itu nggak sulit, kita yang terlalu lemah.

***

Versi asli artikel ini pertama kali dipublikasikan melalui akun saya di Medium dengan judul Kerja Apa Saja Asal Bisa Makan

Good Ideas. Great Stories.

Feel free if you want to send an email to me and ask anything, or just to say hello!

hello@jungjawa.com

Copyright © jungjawa 2022