Dibalik Visual Instagram

dibalik visual instagram



Hello Instagram addict (or I can say, ‘Instagrammers’), ngapunten banget nggih ya seandainya artikel ini agak-sedikit-banget mengena buat kalian, nggak masalah kan? Ya.

Well, gue nulis tentang Instagram kayak gini bukan berarti jadi anti-Instagram atau haters dari aplikasi berbagi foto ini. Enggak. Aplikasi yang udah mendunia sejak lima tahun yang lalu ini emang ya kurang ajar banget populernya. Dibarengi dengan populernya aplikasi Path yang bisa bikin orang kesengsem banget buat nyari cara check-in palsu. Ups!

Perkara lain juga turut hadir di Instagram, misal etika tentang hak cipta. Kan ya ndak banget kalo hasil visual yang sudah dibuat oleh orang lain, secara sengaja atau tidak, dibajak begitu saja. Fyuh, kebebasan mbahmu kiper!

Berbagai foto yang diunggah di Instagram kadang-kadang bisa bikin mata kita terpana. Gimana nggak? Gini pantai yang warna aslinya biru aja bisa jadi biru banget. Dessert yang yah, mungkin rasanya biasa aja bisa jadi sangat menggiurkan berkat filter di Instagram.

Ongkang-ongkang nyeruput kopi pun bisa jadi makin cantik, ya walaupun untuk satu venti harganya sama dengan martabak rasa-rasa. Bahkan, ngapunten nggih, orang bisa sampe segitunya nginjek-injek taman bunga loh buat cari pose cantik ala-ala. Opo ya masih kurang piknik? Ups!

Mari kita istirahat sebentar saja. Instagram memberikan kita berbagai filter dan user experience aplikasi yang menarik. Ya, setiap orang suka akan hal ini. Tapi, semua ini mengingatkan gue sama era jayanya Facebook dulu. Sekitar tahun 2010, tentang bagaimana foto duck face dan angle dari ubun-ubun bisa bikin seseorang sangatlah berbeda dengan kenyataan yang ada. Juga sebaliknya.

Kekacauan yang disebabkan oleh Instagram mulai terjadi ketika penggunanya mulai membandingkan kehidupan pribadi mereka dalam kenyataan dan berbagai foto yang ada di Instagram.

Just keep in mind, kita ikut iri dengan mereka yang kelihatan wah banget dengan piknik mereka. And then, scroll kebawah lagi ketemu temen yang sedang kongkow cakep di cafe. Kayaknya seru banget kan?

Padahal bisa aja apa yang kita lihat itu semu, hanya sederet foto dari aplikasi digital. Kita sering tertipu oleh resolusi pixel yang tanpa sadar bisa saja warna yang ditampilkan udah over saturated. Ealah, ini kok malah bahas teknis sekali.

Hidup ini terlalu singkat jika hanya diwakilkan oleh satu buah foto dengan tagar #latepost dan #dibuangsayang. Ya, agar kekinian dan terlihat show up banget. Apalagi kalau masih banyak sekali kolega dan masyarakat kita yang giat mengamalkan senam jari (scroll up-scroll down).

“The Internet is the first thing that humanity has built that humanity doesn't understand, the largest experiment in anarchy that we have ever had.” ― Eric Schmidt

Jangan heran jika Awkarin harus berpose ratusan kali untuk mendapatkan sebuah jepretan yang ‘layak’ untuk dikonsumsi oleh kawula muda Instagram. Jika kalian masih berpikir untuk apa dan mengapa, maka pertanyaan kalian memerlukan sebuah jawaban yang pasti. Ya, jawabnya ada di ujung langit. Kita ke sana dengan seorang anak.

Cobalah untuk mengikuti feed IG orang lain secara random untuk mengurangi envy effect ini. Fyi aja sih, envy effect tercipta karena kita sendiri yang menciptakannya untuk mengkonsumsi hal-hal tersebut. Ya ibarat apa yang kita follow secara visual, sadar apa nggak, kita akan mengarah ke sana.

Gini deh, selama lo follow akun Instagram dengan niche tertentu dan itu emang dia set up untuk niche tersebut, lo akan selamanya melihat bahwa apa yang tampil di IG dia memang baik-baik saja. Ya kenyataanya mungkin tidak seperti itu.



Tidak selamanya dan setiap hari orang selalu nongkrong di Café dengan dinding yang well decorated. Nggak selamanya juga orang jalan-jalan untuk menikmati vitamin sea. Nggak.

Semua orang pasti memiliki urusan masing-masing dan berbagai masalah yang dihadapi. Tapi nggak selamanya apa yang tampil secara visual di Instagram akan merepresentasikan orang tersebut. Internet memberikan pilihan untuk mempublikasikan apa yang harus dipublikasikan.

Instagram adalah komunitas digital dengan basis visual, maka, apapun yang diberikan untuk publik, ya seenggaknya harus memenuhi syarat indah secara visual.

Membandingkan diri melalui jejaring sosial, menurut gue adalah kesalahan besar. Nggak selamanya semua yang ada di IG, Path, Ask.Fm dan jejaring sosial lainnya itu relevan dengan kenyataan. Nggak ada jaminan juga semuanya itu asli.

Nggak salah juga punya akun jejaring social untuk saling berhubungan dengan orang lain, baik itu teman, keluarga atau calon pacar idaman. Well, jejaring sosial enaknya sih dipake buat seneng-seneng aja. Gausah gelisah apalagi sampe geli-geli basah. Gausah juga ngebandingin hal-hal yang emang nggak penting-penting banget buat diperbandingkan. Connecting, not comparing.


Header image credit: Webster2703 on Pixabay

Komentar

  1. Iyaaa banget! Aku suka pusing abis nyecrolling IG temen yg hidupnya WOW banget. Jalan muluu, baju bagus, makanan enak. Lah aku masih begini2 aja. Liburan gak bisa karena kejepit sama jadwal kerjaan. That’s why aku seneng scroll random. Bisa lebih kebuka mata ngelihat fenomena aneka rupa. :)

    BalasHapus
  2. kalo buka timeline isinya cuma pamer muka, ku buka explore dan cari makanan :)
    branding sih branding,, cuma kalo over branding ya apa banget ya jadinya. he he he.

    BalasHapus
  3. Foto dengan angle dari ubun - ubun, hahaa flashback facebook banget.

    Btw, nice point tho. Mungkin sekarang instagram sudah bisa di-bisnis-kan, jadi banyak orang yang cari kesempatan. Alhasil, rasanya main instagram jadi beda~

    BalasHapus
  4. Apa yang diposting Om Jung banyak benernya
    Kompensasi atau apalah namanya..selain suka manfaatkan medsos buat lifestyle dan lain lain

    BalasHapus
  5. Jadi inget, ada selebgram yg depresi dan nutup account instagramnya, krn dia udah berlebihan, dihalaman rumah pake make up tebal dan dandan habis2an cuma buat foto "enjoying the sun". Yah, apapun yang berlebihan memang nggak baik :)

    BalasHapus
  6. Temanku juga banyak begitu, mungkin juga saya. :(
    Eh ini postingannya enggak #deletesoon kan mas? Ups! XD

    BalasHapus
  7. Paling main instagram cuman buat upload gambar- gambar doang, hehe

    BalasHapus
  8. Ya.. ya.. apapun itu yang penting bijak ya mas. Bijak mengunggah dan bijak menelaah. Seperti postingan ini yang bijak memilah.. ealaah... tapi bener banget.

    BalasHapus
  9. Segala sesuatu pasti selalu ada dua sisi. Gimana kita memandangnya. Aku termasuk yang hobi poto-poto dan edit mengedit jauh sebelum ada instagram. Bukan foto diri sih, just a random photo. Karena emang suka aja. Dan terus terang dengan adanya instagram aku termasuk yang suka pamer dan kepo dengan poto-poto orang.
    Tapi alhamdulillah sih ga pernah tercetus rasa isi liat poto-poto orang. Paling sebatas komen "Ih ini bagus, ohhh gitu cara ngambil angle-nya." Karena aku sadar poto itu terkadang tipuan sudut pengambilan aja.
    Overall, aku suka (seperti biasa) sama tulisan dan pemikiran Jung.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Buat inspirasi aja gitu ya Teh, kalo liat yang bagus-bagus hihihi..

      Hapus
  10. Gue menjadikan instagram itu wadah sih. Pertama untuk wadah hobi gue yang seneng motret apapun. Kedua sebagai wadah untuk mencari inspirasi dan menemukan hal-hal baru yang nggak nemu di media sosial lain atau mungkin di kehidupan sehari-hari gue. Excited waktu pertama kali punya akun instagram, karena gue bisa conncet with people who inspiring another people.

    Untungnya gue nggak sampe ke langkah yang membandingkan diri dengan following gue di Instagram. Just getting an inpiration and refference.

    BalasHapus
  11. Ku jarang sekali follow IG yang ngga sealiran atau sepaham. Paling ngga sekarang TL ku bersih dari yang aneh aneh. Hehehehe caption juga penting lho ku rasa

    BalasHapus
  12. Ku jarang sekali follow IG yang ngga sealiran atau sepaham. Paling ngga sekarang TL ku bersih dari yang aneh aneh. Hehehehe caption juga penting lho ku rasa

    BalasHapus
  13. Hmmmm yaa -manggut-manggut-

    Saya termasuk pengguna aktif dg niche khusus, hehe. Tergantung bagaimana melihatnya sih. Kalau yang baperan hati" aja sama IG, wkwkwk. Secara pribadi, drpd hal-hal negatif di atas, saya lebih banyak dpt manfaatnya. Mulai dr belajar teknik angle, filter, info tempat wisata dan kuliner, ajang belajar bahasa, berteman, dll.

    Yaa~ balik ke diri sendiri :)

    BalasHapus
  14. Tulisannya ngena banget. Saya sampai uninstall Instagram karena nggak kuat sama efek negatifnya. Hehehe.

    BalasHapus
  15. Karena saya anaknya tipe visual, buat saya instagram adalah sumber ide dan tempat saya belajar motret.

    Intinya mah, bijak aja dalam mainan medsos

    BalasHapus
  16. Ga cuman feed aja, instastory juga udah jadi racun. Kan aku pernah deliv kopi dari gerai bermerk ke kosan. Trus sempat aku tinggal bentar. Temanku ada liat. Eh tau2 kopi yg aku beli muncul di instastory dia. Padahal aku aja kalem weh, tinggal mau nikmatin sambil nonton drama, tanpa mau update. Gara2 pengen pencitraan kan jadi ngakuin hak punya orang. Berasa balik jadi anak TK lagi elah.

    BalasHapus

Posting Komentar

Popular Post

Yuk Kenalan dengan Berbagai Jenis Power Plant yang Ada di Indonesia

Pengalaman Pengembalian Dana (Refund) Tiket Pesawat di Traveloka

LOGO BARU PIZZA HUT