Archive for Jungjawa.com November 2016
Alan Walker dan Musisi Anak Muda


Alan Walker, Chainsmokers, Marshmello dan beberapa nama lainnya mungkin terdengar tidak asing lagi di telinga kita. Bagaimana tidak? Hampir setiap hari saya mendengarnya. Ya, mendengarkan musik mereka seolah-olah memberikan nuansa dan emosi tersendiri.

Emosi ketika mengantri fotokopi dan diserobot dedeq-dedeq gemes semester rok pendek hilang seketika tatkala mas-mas fotokopian  membuka Youtube dan memutar Alone.

Namun, ada satu yang luput dari perhatian saya dan beruntung saya mendapatkannya. Jatuh cinta pada Bodyache milik Purity Rings. Sungguh sial, saya baru mendengarkannya. Tak lupa saya ucapkan terimakasih kepada Sam Kolder karena sudah menghipnotis saya melalui videonya yang berjudul My Year 2015. Thanks Kold!



Lalu, saya dibuat bimbang, mana yang lebih baik diantara Purity Rings dengan Bodyache-nya dan Alan Walker dengan Fadednya. Nyatanya, saya kepengin sekali mendengarkan keduanya bersamaan. Biar ndak ribut-ribut gitu. Mantap!


Bodyache milik Purity Rings membuat saya berhalusinasi. Seolah-olah saya terjatuh diantara jutaan bintang.

Sejujurnya, saya cukup kecewa ketika membuka Republik Musisi dan tidak menemukan arsip Purity Ring sama sekali di sana. Di mana saya mencoba mengingat-ingat kembali untuk pertama kalinya menemukan Purity Ring secara tak sengaja di poster We The Fest pada bulan Agustus 2016 lalu.

By the way, banyak sekali musisi internasional yang karya musiknya cukup berkualitas. Yaiyalah, namanya juga musisi, kan? Seperti Alan Walker dengan "Faded" miliknya. Artist EDM asal Norwegia ini ternyata masih berumur 18 tahun. Terpaut dua tahun dari Martin Garrix.

Kabarnya, Faded dibuat pertama kali pada tahun 2014 dengan judul Fade. Kemudian dijadikan cikal bakal dari Faded yang kemudian mulai naik dua tahun kemudian dengan tambahan vokal dari Iselin Solheim.

***

Musik memang tak mengenal batas usia, ras dan gender. Saya pernah menulis tentang Alesso dengan We Could Be Heroes miliknya. Secara tersirat mengingatkan saya kepada Civil War, Heroes dan semangat juang anak-anak muda.

Saya senang mencari korelasi antara musik dan anak muda. Entah mengapa, keduanya seperti memiliki arus timbal balik yang tidak dapat dipisahkan. Dan lagi-lagi, saya menemukan secuil lirik yang cukup menggugah selera.

Bicara Alan Walker, ia tak ubahnya seperti Kakashi di dunia nyata. Secara penampilan bisa dibilang hampir mirip. Walaupun tanpa mata sharingan yang kiyutable itu.

Header image credit: youtube.com | Alan Walker

P.S.
Sebuah skipable post yang sekadar uneg-uneg. Sebenarnya ingin sekali share playlist di sini. Cuman, sepertinya sudah terlalu umum untuk dibagikan. Nikmati saja. Ya sudah, saya ingin ubek-ubek Proximity dulu. Have a nice day!


Saya pernah mendapatkan kuliah tentang kehidupan dari seorang dosen. Pelajarannya cukup sederhana, amatilah huruf T dan carilah makna apa yang bisa dijelaskannya.

Awalnya, saya cukup bingung. Mengingat, apa yang bisa kita lihat dari bentuk huruf T? Hanya ada tiga garis (atau dua) dengan 4 titik (atau tiga) yang saling dihubungkan. Bagaimana bisa huruf T dipandang hingga merefleksikan sendi-sendi kehidupan?

Ternyata...

Pertama, adalah bentuk tiga garis tadi. Jika dibagi menjadi dua jenis, huruf T memiliki 2 jenis garis. Yakni garis vertikal dan horizontal.

Kedua, garis inilah yang mencerminkan pengetahuan akan kehidupan. Sebuah makna vertikal untuk mendalami dan horizontal untuk memperluas. Maka, sederhananya, ketika huruf T memiliki jenis garis yang dominan, itulah yang tercermin dari diri kita.

Bukan, artikel ini bukan membahas ramalan kehidupan manusia. Hanya saja, kita bisa berusaha untuk belajar dari bentuk huruf T. Memilih untuk mempelajari segala hal (horizontal) atau mendalami yang kita pelajari (vertikal).

Baca juga: Mimpi + Eksekusi = Sempurna

Tentu saja, huruf T akan dikatakan berbentuk huruf T ketika garis vertikalnya cukup panjang. Mendalami sebuah ilmu pengetahuan secara spesifik dan memberikan unique point tersendiri. Bukan maruk ke mana-mana tapi tidak paham sama sekali.

Pun demikian dengan makna huruf T, bisa sefilosofis ini. Berusaha untuk ahli dalam suatu bidang, bukanlah mudah. Gampangnya, jika kita analogikan dengan dunia blogging dan blogger. Wah, mulai menarik nih.



Jika saya adalah huruf T, maka saya akan menciptakan unique point tersendiri. Pokoknya berbeda dari blogger lain. Mulai dari bahasan, gaya bahasa sampai niche yang (mungkin) sangat segmented.

Menjadi expert dan antusias di bidang tertentu bukanlah perkara mudah. Konsistensi? Ya, hukumnya fardhu 'ain. Barangkali jika boleh berkata, segala sesuatu haruslah dilakukan dengan tumaninah.

Ketika saya tidak mengerti apa itu spesifikasi kompresi sepeda motor, torsi maksimum atau apa itu ABS (Anti-lock Braking System), maka saya tidak akan membahasnya. Lha piye? Ndak ngerti og.

Bahkan jika boleh, apapun jenis job yang diberikan, mau itu review motor sekalipun, kalau tidak mengerti, saya, lebih baik tidak. Ibarat nongkrong di warung kopi, ngomong ngeciwis tapi ndak ngerti apa yang diomongin. Jika ada yang bertanya, hanya plonga-plongo. Garuk-garuk pala nih pakdhe.

Baca juga: Ngapain Takut Bikin Perubahan?

Huruf T mengajarkan untuk mendalami suatu bidang. Entah itu niche yang segmented atau topik yang benar-benar dikuasai. Tidak perlu iri dan cemas jika orang lain memiliki topik yang sangat 'wah' dan memiliki penghasilan dari sana.

Lha gimana, dia expert di bidangnya kok. Lha sampeyan? Topik apa aja diembat. Ndak ngerti juntrungannya yang penting sikat. Bodo amat.



Jika digambarkan dengan huruf T, maka sampeyan itu huruf T yang rakus. Enggan berbagi space dengan huruf disekitarnya. Semuanya disuruh minggir supaya disemua tempat, sampeyan bisa terlihat.

Namun, jika huruf T dengan makna mendalam, ia akan berbagi tempat dengan yang lainnya. Huruf disekitarnya boleh mendekat. Huruf T ini sadar (tidak seperti sampeyan) bahwa melebarkan garis horizontal tidak pada tempatnya itu kurang baik. Memakan tempat orang lain yang justru lebih pantas dari dirinya. Ia sadar, maka lebih bijak untuk memanjangkan garis vertikal yang ia miliki. Walaupun ia tau, porsi sebelah sangat menjanjikan, tapi itu tidak benar.

Melalui artikel ini, saya hanya ingin mengajak untuk membuka mata. Belajar dari huruf T yang (seharusnya) memberikan kebijaksanaan bukan rasa iri dan rakus memenuhi hasrat diri. Bukan saling sikut karena ingin karena iri hati.

Terkadang, kita mungkin lupa, bahwa dunia dan seisinya hanyalah sementara. Tidak selamanya bisa kita genggam dan kuasai. Berusaha untuk sabar dan nerimo ing pandum. Rejeki ndak bakal kemana.

"Tapi kan gue pengin banget ikut acara ini itu. Bisa jalan-jalan gratis ke Timbuktu selama dua tahun sama dikasih hadiah sikat gigi elektronik loh! Keren banget dah pokoknya!"

Keren banget mbahmu kiper!
A video posted by Arif Munandar (@jungjawa) on

Form factor dari Xiaomi Yi 4K sendiri sudah membuat saya jatuh hati. Bentuknya yang ringkas dan minimalis dengan fitur hampir 'sama' dengan GoPro Hero 4. Siapa yang menolak untuk meminangnya?

Ketika akhirnya memilih, saya juga ikut memikirkan budget yang harus dikeluarkan dengan tambahan aksesoris. Ya, action cam rasanya kurang menggigit jika tanpa adanya aksesoris. Minimal seperti waterproof case dan monopod.

Baca juga: Xiaomi Yi 4K: Siap Bersaing dengan GoPro?

Ada beberapa poin yang membuat saya sedikit was-was saat meminang gadget ini. Khawatir jikalau kualitas gambar, fitur dan video tidak sebaik yang ditawarkan. Ah, jatuh hati memang selalu membuat kita berdebar lebih kencang.

Slow Motion (up to 1/8)

Menyenangkan sekali saat action cam digunakan untuk merekam secara slow motion. Ala-ala Sam Kolder yang sering saya lihat di Youtube. Bagaimana ia mengkombinasikan timelapse dan slowmo dengan begitu apik dan ciamik. Iya sih, editingnya juga juara.



Nah, slow motion di Instagram saya (post IG di atas) adalah slowmo yang dihasilkan oleh Xiaomi Yi 4K ini. Saya mencoba menggunakan perlambatan 1/8. Hasilnya? Maybe I'm dreaming. Smooth sekali bahkan tanpa editing sekalipun. Saya hanya menambahkan filter black and white saja.

Slowmo seperti ini memang baik digunakan untuk slow intro dan digabungkan dengan slow BGM pula, just like Alan Walker - Faded. Ah, dream come true (again).

Baca juga: [Bukan] Review Action Cam Xiaomi Yi 4K: 90% GoPro Hero 4 Killer
Sebenarnya, jika ingin lebih smooth lagi bisa sampai 240fps, sayangnya resolusinya harus turun ke 480p. Huh. Padahal, standar kalo mau bagus ya sebisa mungkin set di 720p. Poin minus nih buat Xiaomi Yi 4K.



Slowmo emang asik untuk menunjukkan landscape, emosi dan activity yang perlu fokus di sana. Ah, jadi ndak sabar buat nyoba slowmo di tempat lain lagi. Hehehe...




Good Ideas. Great Stories.

Feel free if you want to send an email to me and ask anything, or just to say hello!

hello@jungjawa.com

Copyright © jungjawa 2022