Tentang Pecel yang Ingin Naik Kelas

pecel-yang-ingin-naik-kelas


Indonesia memiliki ragam kuliner yang menggugah selera. Siapa sangka, inisiatif dari sayuran yang mudah didapat seperti kacang panjang, kecambah, daun kemangi dan kerabat dekatnya mampu disajikan dengan nikmat.

Sudut emperan perkantoran hingga kantin sekolah, umumnya menyediakan menu ini. Di Solo, hampir setiap hari saya menyantapnya. Bahkan, jika boleh adu harga, modal 10.000 bisa untuk makan berdua (ini jika harga tarif parkir belum naik). Romantis sekaligus hemat dikantong. Siapa yang mampu menolaknya?

Bagi saya, pecel bukan perkara Madiun saja. Ada hal penting selain sejarah pecel yang banyak dicari oleh khayalak ramai. Salah satu keunikan yang membuat saya berpikir bahwa dipojokan Eropa sana, seorang bule akan meringis jika melihat Paijo makan salad dicampur dengan nasi.

Ya, saya pikir hanya orang Indonesia lah yang gila, mencampurkan salad dengan nasi atau lontong. Dari sana, terciptalah sebuah kombinasi dengan segudang manfaat. Lupakan dengan saran ahli gizi. Murah, kenyang dan mudah didapat adalah alasan utama.

Pecel itu merakyat lho, ndes!

Kalian yang seringkali makan hidangan ini tentu paham betul tentang rentang harga yang ditawarkan. Jika boleh membandingkannya dengan 'jajanan' cafe, pecel lebih murah dan ramah di kantong sampeyan.

Beidewei, bagi saya pecel menjadi makanan terenak setelah rendang. Akan tetapi, pecel lebih menyasar ke segmen pecinta hidup sehat tanpa kolesterol. Sebentar, cinta hidup sehat adalah alasan klise.

Sebab, kantong kering adalah masalah pelik. Mengapa? Karena walaupun makan pecel, gorengan adalah pendamping utama. Selain harganya yang terjangkau, kembali lagi ke tujuan awal, mengenyangkan perut. Persetan dengan kolesterol!

Sampeyan yang belum pernah mencoba pecel mungkin tidak butuh waktu yang lama untuk jatuh cinta dengan pecel. Kombinasi pecel paket lengkap dengan kembang turi, lamtoro dan peyek teri akan menggoyang lidah. Itu baru bicara hal pokok dalam pecel. Jika ditambahkan pelengkap seperti gorengan, telur dadar atau perkedel akan lain cerita. Lagi-lagi, kolesterol dan kawan-kawannya.

Dian Sastro mungkin akan mengumpat habis-habisan dan menaikkan alis sembari berbisik lirih "Kamu jahat" jika sampeyan ketahuan mengambil perkedel miliknya. Lantaran perkedel disisihkan untuk jadi hidangan penutup. Persis seperti masa kecil saya. Sing penak ki keri dewe dipangan.

Pak Bondan pun begitu, biasanya hanya bilang "Maknyos", akan mengubah jargon andalannya akibat rasa pedas dari sambel pecel yang sederhana. "Makjilak tenan!". Biasanya ia akan menanyakan resep bumbu hidangan yang disajikan. Namun, kali ini tidak. Ia akan menanyakan bagaimana mengawetkan bumbu pecel yang akan dibawa naik kelas menuju ibukota.

Sebenarnya kalo dipikir dengan nalar yang baik, apa yang disajikan oleh pecel ya bahan makanan yang sering dikonsumsi oleh kambing. Sehat sudah pasti. Murah dan mudah didapat itu wajib. Sebuah logika yang samar akan terlihat jelas bahwa kambing memberi contoh untuk hidup sehat.

Bagi saya, pecel bukan perkara kuliner saja. Namun amanat penyerahan diri kepada alam. Tentang kembalinya raga dan menikmati rasa dari Sang Kuasa. Pecel dapat dijadikan sebuah simbol tentang perlawanan. Rendah lemak itu keras, Bung!

Dalam periode sepuluh semester tapi belum jadi sarjana teknik, saya masih bermimpi. Bahwa, pecel bisa naik kelas dan Instagram-able. Kalo bisa mirip-mirip dibikin seperti kopi, ada filosofi pecel. Gitu. *eh ini kok gimana gitu ya~

Nah, sebenarnya jika saya menjelma menjadi hidangan pecel, saya tentu iri dengan kopi. Saya ndak mengerti apa salah pecel? Kurang ngehits? Ya, saya paham, diputus secara sepihak itu enggak enak. Perih. Makanya saya dukung Mbak Yuliana.

Jika sekarang coffe shop sudah mulai menjamur ibarat jamaah fesbukiah yang "menjamurkan" berita hoax. Saya juga bermimpi pecel bisa menjamur seantero negri ini. Menyebar menuju gang kecil. Melewati batas suku, etnis, ras dan agama. Bersatu kita pecel, bercerai kita menikmati gado-gado!

Mungkin pengusaha pecel harus mampu melihat pasar yang memiliki market share dengan porsi menjanjikan. Melakukan analisis sederhana tentang dedek-dedek gemes yang mungkin bisa dialihfungsikan sebagai duta pecel, seperti Dek Depari yang sudah jadi duta anti narkoba. Sangar tho?

Momentum restoran cepat saji juga bisa dijadikan solusi jitu memasarkan produk lokal ke pasar internasional. Bukankah menarik jika burger saus pecel dan pizza karamel pecel ikut naik di daftar menu?

Bahkan, saya iri dengan kuliner Nasi Padang yang populer seperti franchise modern dengan outlet tersebar ke pelosok desa. Sungguh, Nasi Padang mencuri start terlebih dahulu. Pecel tidak boleh tinggal diam! Serangan fajar balas dengan serangan gelap gulita!

Pecel seperti di anak tirikan oleh Nasi Padang. Seperti rasan-rasan mahasiswa di kampus saya, nasi padang yang katanya sederhana namun harganya tidak sesederhana nasi pecel. Lak ngapusi tho!

Pecel, peyek dan mahasiswa yang ingin segera lulus bukanlah omong kosong. Kiranya wajib untuk menjaga kesehatan melalui asupan nutrisi yang baik. Solusinya? Ya sego pecel.

Hubungannya dengan mahasiswa? Ya kalo pengen segera lulus, biasanya mencoba menulis pecel dengan serius.



Header image credit: wikipedia.org

Komentar

  1. Di deket rumah ku ada tukang jualan pecel keliling. Murah banget cumak 7 ribu untuk ukuran Jakarta. Jadi puas makannya :D

    BalasHapus
  2. Pecel enak biasanya tergantung sambelnya (eh, lidah juga kali ya). Dulu, waktu di Pasuruan coba beli nasi pecel. Kukira seenak dan selezat di Ponorogo gitu, eh taunya malah kayak rujak. Kombinasinya juga melenceng dari pecel-pecel yg pernah kutemui. Masa sawi putih, kubis sama capar.
    Kalau aku, gandengan favorit pecel sih ya tempe goreng.

    BalasHapus
  3. Tetep pecel ditambah lauk telur ceplok dan tempe goreng adalah yang terenak hahahah. Di tambah minumnya Teh hangat kakakakka

    BalasHapus
  4. Hahaha. Kalo pengin lulus menulis ttg pecel dengan serius XD

    Aku adalah salah satu penikmat pecel sih. Sebelum pindah kos. Pecel adalah menu utama. Pagi siang sore always pecel! Sekarang belum nemu tempat pecel yang enak di kostan yg baru. Mau beli ke yang lama lumayan jauh...

    BalasHapus
  5. Boleh lah makanan yang sudah lama ada kalau ingin naik kelas jadi bisa masuk dalam katergori makanan terenak terus bisa sejajar dengan rendang :)

    BalasHapus
  6. Selain pecel favoritnya mahasiswa zaman Uti itu oseng2..semoga bskal nsik kelas dengan nilsi ysng oke..

    BalasHapus
  7. Akhirnya udah lulus apa belum yg nulis pecel ini?
    Yes banget lah kalau pecel, sekeluarga suka. Mau pecel style Madiun atau style kampung halaman saya, Banyumas, sama-sama endees.

    BalasHapus
  8. Sek mas, sedang makan pecel. abis ini iyain cita-citamu hahaha..
    dulu SMA di madiun pecel kemana-mana. sekarang kuliah di bandung.

    PECEL MAHAL... tanpa lauk aja ada kali 7000... cuman nasi sayur sambel, sama tetek bengek habinya 15rb minimal,,,

    pengen rasanya jualan disini wkkwwk

    BalasHapus
  9. Wah enak tub, menikmati peel, kilo saya yang panting ga pake toge

    BalasHapus
  10. Kalo pecel sama gado-gado, itu sodara kandung apa sodara tiri? :D hehehe Di Manado, jaraaaang banget nemu pecel, adanya gado-gado. Pindah ke Solo, baru mulai deh aku makan pecel karena gado-gado jarang ditemui. :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Trus, jadi suka mana antara pecel dan gado-gado?

      Hapus
  11. HA HA HA tadi iseng-iseng ngecek traffic source. Anjisss jadi banyak yang nyasar ke blog saya, Jung. Luar biasa...

    BalasHapus
  12. Ayo kapan aku dijajakne mas,enak ketoke

    BalasHapus
  13. Kalau saya lebih suka gendar pecel, tiap pulang jumatan pasti beli... harga 5000, porsi kuli dan sudah termasuk 2 gorengan :D

    BalasHapus
  14. Jadi eling gablok pecel jamanku esdeh ...

    BalasHapus

Posting Komentar

Popular Post

Yuk Kenalan dengan Berbagai Jenis Power Plant yang Ada di Indonesia

Pengalaman Pengembalian Dana (Refund) Tiket Pesawat di Traveloka

LOGO BARU PIZZA HUT