#TravelSeries: PENDAKIAN GUNUNG MERAPI 2930 MDPL



Kenapa saya suka mendaki? Karena ini olahraga tanpa gelar juara - @arinakw

Begitulah sedikit gambaran aktifitas mendaki gunung. Bukan untuk pencarian gelar maupun bersaing dengan kompetitor. Namun lebih bagaimana kita melakukan perjalanan mengenal diri sendiri hingga mengendalikan emosi.

Rabu, 14 Januari 2015 kami yang berjumlah enam orang melakukan pendakian Gunung Merapi melalui jalur New Selo, Boyolali. Untuk mencapai basecamp cukup menggunakan sepeda motor yang kami awali sehari sebelumnya dari Solo.

Sepanjang perjalanan menuju Selo kami ditemani hujan yang cukup deras. Bahkan hingga pukul 9 malam sesampainya kami di Barameru (basecamp pendakian Merapi) hujan pun tak kunjung usai. Niat awal melakukan pendakian malam kami urungkan dan bermalam di basecamp untuk mendaki keesokan harinya.

Di basecamp Barameru kami tidak sendirian. Ada dua kelompok pendaki lainnya dimana kelompok yang satu terdiri dari pria semua dan telah turun dari Merbabu dengan kondisi kehujanan. Dapat dilihat di basecamp penuh dengan jemuran tas dan pakaian basah mereka. Kemudian kelompok yang lain terdapat wanita di kelompoknya. Mereka ternyata sudah turun dari puncak dan akan segera menuju Jogja. Malam itu kami akhiri dengan makan nasi telur terlebih dahulu dan kemudian tidur.

Keesokan harinya setelah sholat subuh, kami bergegas untuk mendaki. Namun sebelum mendaki kami registrasi terlebih dahulu di basecamp Barameru dengan biaya registrasi sebesar Rp. 15.000/orang. Setelah itu kami berangkat untuk melakukan pendakian dengan diawali doa pada pukul 5 pagi.

Dari basecamp Barameru kami menyusuri jalan beraspal untuk mencapai New Solo yang ditandai dengan tulisan New Selo seperti Holywood diatas bukit. Disini juga terdapat joglo yang merupakan bangunan terakhir sebelum kita memasuki hutan. Disini terdapat warung yang buka dari pagi sampai sore hari, jadi kita dapat ngopi-ngopi dulu disini. Jika memandang kedepan kita dapat melihat dengan gagahnya gunung Merbabu.

Perjalanan dari New Selo menuju Pos 1 akan melalui ladang penduduk disebelah kanan kita dan jurang disebelah kiri. Kemiringan jalur ini cukup membuang energi diawal-awal pendakian jika kita mendaki terlalu cepat. Usahakan mendaki perlahan dan anggap saja ini adalah pemanasan, jadi tidak perlu tergesa-gesa. Sesekali kami mendengar kicauan burung dipagi hari saat mendaki, menambah suasana alam yang asri meskipun mendung tak kunjung pergi.

Melewati ladang penduduk
Baru beranjak dari ladang penduduk sekitar 15 menit, gerimis romantis menyertai kami. Bergegas kami semua mengeluarkan ponco agar basah oleh gerimis. Perjalanan dilanjutkan dengan sangat hati-hati karena selain hujan, angin juga bertiup dengan kencang. Sekitar pukul 7 pagi kami sampai di Shelter 1 ditandai dengan adanya gapura selamat datang. Saya tidak sempat mendokumentasikannya karena hujan cukup menyulitkan kamera saya.

Trek menuju Pos 1 mendaki tanpa ampun!
Dari Shelter kami mulai melewati jalur yang lebih terjal dengan bebatuan diantaranya. Tidak ada bonus jalur landai disini, namun hanya tanjakan-tanjakan yang seolah tidak ada habisnya yang akan kita temui. Sekitar satu jam perjalanan kami mencapai Pos 1 dengan ditandai adanya gubuk yang bisa kita gunakan untuk beristirahat. Namun sayang, vandalisme mendominasi gubuk ini.

Vandalisme, kreativitas salah tempat!

Berbicara dengan penduduk setempat di Pos 1
Di Pos 1 kami melepas lelah sembari menikmati udara sejuk karena hujan telah berhenti. Sambil sarapan pagi dengan roti tawar, kami mendokumentasikan pemandangan di Pos 1 ini.

Pendakian menuju Pos 2 kami mulai pukul 9 pagi dengan dikelilingi cuaca yang berawan. Jalur menuju Pos 2 berubah menjadi jalur bebatuan tanpa tanah seperti jalur sebelumnya. Jika ada kesempatan melihat Merbabu, saya menoleh kebelakang untuk melihatnya walaupun harus tersamarkan oleh bayang-bayang awan yang menyelimuti Puncak Triangulasi.

Sesekali kami menemui beberapa pendaki yang sedang turun dari puncak. Sedikit tegur sapa dan menanyakan kondisi diatas sebagai percakapan kecil disela-sela jalur mendaki. Kata mereka kondisi diatas sangat berkabut dan waspada badai. Seperti yang saya duga karena awan hitam menutupi puncak Merapi dari kejauhan.

Sampai akhirnya kami menemui pendaki lain yang sedang berkemas untuk turun dan ternyata itu adalah Pos 2 yang berada dekat dengan Watu Gajah, sebuah batu besar yang pertanda Pasar Bubrah sudah dekat. Disekitar Pos 2 kami mendirikan tenda dan memasak mie instan. Kondisi sekitar Pos 2 hingga keatas tertutup kabut yang sangat tebal, jarak pandang hanya sekitar 7 meter. Awalnya kami berniat membuka tenda di Pasar Bubrah, namun mengingat kondisi angin yang berhembus kencang kami mengurunkan niat untuk itu.

Selfie ceria!

Berbagi kebahagiaan dengan penduduk setempat

Apaan tuh dibelakang!!??

Setelah makan dan beristirahat, kami mendaki menuju Pasar Bubrah pukul 12 siang. Dari 6 orang hanya 5 orang yang mendaki menuju Pasar Bubrah karena salah seorang teman saya lebih memilih untuk beristirahat di tenda dan menjaga tenda.

Sepanjang jalur menuju Pasar Bubrah kami hanya menemui batu dan kerikil. Tidak ada tanah disini. Angin bertiup sangat kencang sehingga kami harus berhati-hati untuk berjalan. Salah sedikit kami bisa terjatuh ke jurang yang menganga di kanan kiri kami.

Pukul 12.30 kami sudah mencapai Pasar Bubrah. Ditandai dengan batu-batu yang berserakan dimana-mana. Di Pasar Bubrah terdapat alat pendeteksi gempa dan Stasiun Seismik pemantau aktivitas Gunung Merapi. Bagi pendaki yang naik tidak disarankan mendekati alat pemantau maupun stasiun apalagi merusaknya mengingat begitu pentingnya peralatan ini untuk pemantauan aktifitas Merapi.

Vandalisme. Lagi dan lagi!

Tebalnya kabut

Istirahat di Watu Gajah
Di Pasar Bubrah kami hanya sebentar dan berkeliling disekitar Stasiun Seismik mengingat kabut yang sangat tebal hingga puncak Merapi pun tak terlihat. Niatan untuk pergi kepuncak pun kami urungkan karena sangat berbahaya. Jika salah langkah maka kami tidak akan bisa pulang dan tersesat.

Pukul 13.00 kami pun meninggalkan Pasar Bubrah dengan hati-hati karena kabut semakin tebal saja. Apalagi jalan menurun menuntut kami untuk lebih waspada. Disini kami banyak menjumpai Cantigi. Cantigi sendiri adalah tanaman yang hanya tumbuh di gunung pada ketinggian antara 1500 mdpl hingga 2400 mdpl. Nama lain dari Cantigi adalah Vaccinium varingiaefolium yang memiliki daun cantik berwarna merah bersinar. Cantigi kalah populer daripada Edelweis yang didapuk sebagai bunga abadi pujaan pendaki gunung.

Cantigi. Cantik bukan?

Jangan diterawang, nanti ketahuan buat siapa.

Cantigi
Setengah jam kemudian kami sudah mencapai tenda dan mulai berkemas untuk turun ke basecamp Barameru. Kami harus bergegas karena udara sudah semakin dingin dan kemungkinan akan teradi badai mengingat angin bertiup sangat kencang dan membekukan udara disekitar pakaian kami.

Perjalanan turun kami lalui dengan sangat cepat. Hanya perlu waktu 3 jam untuk turun dari Pos 2 menuju basecamp. Setelah istirahat dibasecamp dan berkemas ulang kami langsung turun melanjutkan perjalanan ke Solo mengingat batas waktu peminjaman tenda sudah lewat dari waktu yang ditentukan.

#TravelSeries yang menakjubkan mengingat seminggu setelah ini kami akan menyambangi Sindoro. Semoga diberi kelancaran dan kemudahan.

Dokumentasi lagi... dengan penduduk setempat


Catatan Logistik:
Jumlah Pendaki: 6 orang
Mie Instant 12 bungkus
Roti tawar 2 bungkus
Selai Kacang
Roti basah 2 bungkus
Kopi sachet 8 bungkus
Susu kental manis 3 bungkus
Nutrijel
Air Mineral 12 botol @botol 1,5L
Nasi Bungkus 6 bungkus

Ingat: jangan mengambil apapun kecuali gambar, jangan meninggalkan apapun kecuali jejak, jangan membakar apapun kecuali semangat dan jangan membunuh apapun kecuali waktu.


Komentar

  1. mau juga aku mendaki, seumur umur belum pernah mendaki gunung :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Jangan naik gunung mbak. Jangan!

      Nanti ketagihan. Hehehe...

      Hapus
  2. wiiih, keren nih.
    olahraga tanpa gelar juara. bener juga tuh. malah klo bisa dibilang, ini olahraga yg bener'' bisa mengetahui kepribadian asli seseorang. eh, tpi ngedaki itu olahraga yak? baru tau gue, hhaha


    gue belom pernah tuh ngedaki gunung. smoga suatu saat bisa mendaki gunung juga deh, amiin. keren bungannya. sebelum liat edelwis, snggaknya bisa liat bunga yg hnya ada di pegunungan doang. ttep keren

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mendaki itu olahraga bro. Mountaineering hehe.
      Soalnya butuh persiapan fisik dan mental yang bagus. Kalo nggak siap ya.. susah.

      Jangan naik gunung bro. Tar ketagihan repot. hehe

      Hapus
  3. jadi pengen naik gunung ._.

    Ohya kakak, gue ngasih Liebster Award nih.. bisa dinikmati disini http://lebailabiel.blogspot.com/2015/01/first-liebster-award.html :))

    BalasHapus
    Balasan
    1. Naik gunung gak cukup sekali. Nanti ketagihan. Hehe

      Hapus
  4. Aku mau naik gunung, asal sama kamu Mas Jung :D

    BalasHapus
  5. Halo mas, salam kenal.
    Aku setuju banget sama quote terakhir itu, soalnya terasa banget sekarang terlalu banyak kreatifitas yang salah ditempatkan, ya vandalisme itu.
    Btw, aku baru tau loh mas kalau ternyata cantigi itu bagus juga ya haha. Selama ini selalu mengagumi edelweis soalnya :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, itu etika pendaki gunung.

      Cantigi itu selain indah juga sebagai rambatan pendaki. Biasanya ada di medan berbatu dan berpasir kayak gunung berapi. :)

      Hapus
  6. Sesuatu banget mas Arif quote terakhirnya :)

    BalasHapus
  7. huaaah gunung merapii!! saya pengen banget kesana haha,
    oh iya mas, kenapa bawa nutrijel mas?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Jangan kesana bro. Tar ketagihan hehe.
      Nutrijel buat makanan selingan waktu pendakian bro. Selain itu juga serat buat bikin tenggorokan dan perut jadi enak.

      Hapus
  8. Quotenya terakhirnya sudah menggambarkan pendaki yang taat banget, Jung. Hahaha. Melihat postingan elu, jadi timbul hasrat mencoba naik gunung merapi. Karena alhamdulillah, puncak salak dan beberapa gunung lainnya berhasil gue tempuh. Jalur pendakian menuju merapi terlihat ekstrim ya. Makin pensaran pengin kesana. Mudah-mudahan saat kesana nanti, alam sedang bersahabat, deh. Hehe.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mangats Mat! Kalo ragu-ragu mending jangan naik. Ketagihan ntar. Hehe...

      Hapus
  9. Uah, mantep ini Merapi. Aku penasaran ama rumah alm. Mbah Maridjan. Salam lestari dari Sumatera Utara :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalo alm. Mbah itu di Jogja bro, bukan jalur ini. Ini via Boyolali, Selo.

      Hapus
  10. asik banar endingnya nah haha

    handak banar mencobai naik ke gunung merapi, kapan kalau ulun ke jawa kawani lah haha

    BalasHapus
  11. Jangan membunuh waktu, karena yang akan mati adalah kita :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah dikomentari mbak Evi. Waaaaaaah~~~~ Waaaaaaah~
      *heboh*

      Hapus

Posting Komentar

Popular Post

Yuk Kenalan dengan Berbagai Jenis Power Plant yang Ada di Indonesia

Pengalaman Pengembalian Dana (Refund) Tiket Pesawat di Traveloka

LOGO BARU PIZZA HUT