Dangdut dan Bus: Kombinasi Goyangan yang Cerdas

via-vallen-dangdut-cerdas.jpg

"sayang opo kowe krungu jerite atiku
mengharap engkau kembali
sayang nganti memutih rambutku
ra bakal luntur tresnaku"
Sayang - Via Vallen

Sebagai warga negara yang rutin melakukan perjalanan mudik, saya sering mengamati perilaku sekitar. Entah mengapa, saya memiliki pertanyaan yang sedikit nyeleneh: bagaimana seorang kondektur memiliki ide brilian untuk menggabungkan nuansa goyangan bus diiringi oleh alunan musik dangdut?

Bagi saya, musik dangdut memiliki khasiat tersendiri untuk memberikan nuansa sakral dalam perjalanan Surabaya-Solo. Nuansa yang membuat saya rindu dan ingin berlama-lama disetiap kilometernya. Kan saya sudah pernah bilang, jika harus memilih antara Isyana dan Via Vallen, adalah problematika yang cukup rumit.

Walaupun begitu, ‘Dangdut’ sering dipandang sebelah mata sebagai musik kelas menengah ke bawah. Padahal, bagi saya, musik ya musik, ndak ada pake kelas. Kalo pake kelas ya namanya kelas musik, di sana kita belajar tentang musik. Ya, tho?

Saya sendiri seringkali merasa heran tentang goyangan musik dangdut yang dianggap negatif. Goyang dangdut adalah sebuah ekspresi atas nikmat alunan dangdut yang didengarkan. Pendengar setia musik dangdut mencoba untuk mengapresiasi musik yang dimainkan dengan menikmatinya. Salahkah kami jika harus bergoyang? Kami bergoyang murni untuk menikmati. Tidak ada niatan sedikit pun dari kami untuk mengganggu bahkan merendahkan musik lain.

Mungkin jenis musik kami terlihat kampungan, slengean dan nggak aturan. Tapi ya, inilah kami, mencoba menikmati dengan cara kami sendiri. Mungkin, sampeyan belum pernah mencoba mendengarkan alunan merdu suara Wiwiek Sagita, Via Vallen atau bahkan Mas Didi Kempot. Cobalah sekali-kali, siapa tahu sampeyan bisa jadi member FDI (Front Dangdut Indonesia) garis keras.

Baca juga: Apa Artinya Kenyamanan dan Kesempurnaan?

Saya mendengarkan musik dangdut sejak lahir. Ya, dangdut yang tidak hanya jenis aslinya saja. Ya dangdut koplo, dangdut campursari, melayu dan sebagainya. Walaupun begitu, wawasan saya di dunia perdangdutan cukup sempit, hanya beberapa yang populer saya cukup kenal. Tapi tetap saja, setiap kali mendengarkan musik dangdut, saya merasa memiliki dunia tersendiri. Musik dangdut memiliki nuansa irama seperti EDM (Electronic Dance Music) namun dengan topping yang sedikit berbeda. Belum lagi dari kedalaman makna disetiap baris lirik yang dinyanyikan.

Seperti yang saya bilang tadi, wawasan perdangdutan yang saya miliki ndak luas-luas amat. Tapi saya cukup gerah jika harus ada yang bermasalah dan memandang sebelah mata musik dangdut. Semua orang memiliki preferensi pribadinya masing-masing. Hambok ya ndak perlu dipaksakan. Selama tidak mengganggu kalian, jangan pernah merendahkan kami. Inilah pilihan hidup kami!

Jadi begini, sampeyan yang belum pernah dan ingin menikmati musik dangdut boleh mencoba saran saya. Silakan naik bus jurusan Jogja-Surabaya atau sebaliknya. Tapi sebelumnya tanyakan dahulu kepada kondektur, apakah akan memutar musik dangdut sepanjang perjalanan atau tidak. Jika tidak, cari bus lain. Buat apa naik bus jika tidak bergoyang dengan musik dangdut? Lak yo lucu!

Sudah, itu saja. Pokoknya, nikmatilah musik dangdut selagi bisa. Karena bagi saya, musik dangdut adalah tentang bergoyang. Dan menikmati setiap jalan berlubang yang dilewati bus bersama dengan musik dangdut adalah kombinasi yang cerdas.

*Via Vallen - Sayang*

"hari demi hari uwis tak lewati
yen pancen dalane kudu kuwat ati
ibaratke sego uwis dadi bubur
nanging tresno iki ora bakal luntur"

Image credit: timlo.net

Artikel ini pertama kali saya publikasikan di Katanium dan dipublikasikan kembali di blog ini dengan sedikit perubahan.

Komentar

  1. Hahaha.
    Dangdut dan goyangan bisa malam adalah sebuah perpaduan paling sempurna bagi bis antar kota antar provinsi, ditambah klakson telolet yang membahana.
    Sebagai orang yang lumayan sering mudik juga, gak malsalah si kalo ada dangdutnya, tapi kalo malem agak ganggu sih, pengen tidur jadi susah. ;(

    BalasHapus
    Balasan
    1. Biasanya kalo emang mau tidur, ambil kursi paling belakang :)

      Hapus
  2. Keren, anti mainstream banget

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ah ndak juga, dangdut kan musik yang mainstream di Indonesia

      Hapus
  3. Tapi nyatanya kelas itu tetap ada dan menjadi budaya. Kalau dengar musik A berarti kelas XY, dan seterusnya. Apa Marx juga membahas penghapusan kelas dalam hal seni dan musik ya, Rif?

    BalasHapus
  4. hahahahah saya juag suka kalo traveling naek bus dutemain dangdut hahah apalgi kalo solo traveling jadi gak bosan

    BalasHapus

Posting Komentar

Popular Post

Yuk Kenalan dengan Berbagai Jenis Power Plant yang Ada di Indonesia

LOGO BARU PIZZA HUT

Pengalaman Pengembalian Dana (Refund) Tiket Pesawat di Traveloka