Archive for Jungjawa.com Mei 2016
via-vallen-dangdut-cerdas.jpg

"sayang opo kowe krungu jerite atiku
mengharap engkau kembali
sayang nganti memutih rambutku
ra bakal luntur tresnaku"
Sayang - Via Vallen

Sebagai warga negara yang rutin melakukan perjalanan mudik, saya sering mengamati perilaku sekitar. Entah mengapa, saya memiliki pertanyaan yang sedikit nyeleneh: bagaimana seorang kondektur memiliki ide brilian untuk menggabungkan nuansa goyangan bus diiringi oleh alunan musik dangdut?

Bagi saya, musik dangdut memiliki khasiat tersendiri untuk memberikan nuansa sakral dalam perjalanan Surabaya-Solo. Nuansa yang membuat saya rindu dan ingin berlama-lama disetiap kilometernya. Kan saya sudah pernah bilang, jika harus memilih antara Isyana dan Via Vallen, adalah problematika yang cukup rumit.

Walaupun begitu, ‘Dangdut’ sering dipandang sebelah mata sebagai musik kelas menengah ke bawah. Padahal, bagi saya, musik ya musik, ndak ada pake kelas. Kalo pake kelas ya namanya kelas musik, di sana kita belajar tentang musik. Ya, tho?

Saya sendiri seringkali merasa heran tentang goyangan musik dangdut yang dianggap negatif. Goyang dangdut adalah sebuah ekspresi atas nikmat alunan dangdut yang didengarkan. Pendengar setia musik dangdut mencoba untuk mengapresiasi musik yang dimainkan dengan menikmatinya. Salahkah kami jika harus bergoyang? Kami bergoyang murni untuk menikmati. Tidak ada niatan sedikit pun dari kami untuk mengganggu bahkan merendahkan musik lain.

Mungkin jenis musik kami terlihat kampungan, slengean dan nggak aturan. Tapi ya, inilah kami, mencoba menikmati dengan cara kami sendiri. Mungkin, sampeyan belum pernah mencoba mendengarkan alunan merdu suara Wiwiek Sagita, Via Vallen atau bahkan Mas Didi Kempot. Cobalah sekali-kali, siapa tahu sampeyan bisa jadi member FDI (Front Dangdut Indonesia) garis keras.

Baca juga: Apa Artinya Kenyamanan dan Kesempurnaan?

Saya mendengarkan musik dangdut sejak lahir. Ya, dangdut yang tidak hanya jenis aslinya saja. Ya dangdut koplo, dangdut campursari, melayu dan sebagainya. Walaupun begitu, wawasan saya di dunia perdangdutan cukup sempit, hanya beberapa yang populer saya cukup kenal. Tapi tetap saja, setiap kali mendengarkan musik dangdut, saya merasa memiliki dunia tersendiri. Musik dangdut memiliki nuansa irama seperti EDM (Electronic Dance Music) namun dengan topping yang sedikit berbeda. Belum lagi dari kedalaman makna disetiap baris lirik yang dinyanyikan.

Seperti yang saya bilang tadi, wawasan perdangdutan yang saya miliki ndak luas-luas amat. Tapi saya cukup gerah jika harus ada yang bermasalah dan memandang sebelah mata musik dangdut. Semua orang memiliki preferensi pribadinya masing-masing. Hambok ya ndak perlu dipaksakan. Selama tidak mengganggu kalian, jangan pernah merendahkan kami. Inilah pilihan hidup kami!

Jadi begini, sampeyan yang belum pernah dan ingin menikmati musik dangdut boleh mencoba saran saya. Silakan naik bus jurusan Jogja-Surabaya atau sebaliknya. Tapi sebelumnya tanyakan dahulu kepada kondektur, apakah akan memutar musik dangdut sepanjang perjalanan atau tidak. Jika tidak, cari bus lain. Buat apa naik bus jika tidak bergoyang dengan musik dangdut? Lak yo lucu!

Sudah, itu saja. Pokoknya, nikmatilah musik dangdut selagi bisa. Karena bagi saya, musik dangdut adalah tentang bergoyang. Dan menikmati setiap jalan berlubang yang dilewati bus bersama dengan musik dangdut adalah kombinasi yang cerdas.

*Via Vallen - Sayang*

"hari demi hari uwis tak lewati
yen pancen dalane kudu kuwat ati
ibaratke sego uwis dadi bubur
nanging tresno iki ora bakal luntur"

Image credit: timlo.net

Artikel ini pertama kali saya publikasikan di Katanium dan dipublikasikan kembali di blog ini dengan sedikit perubahan.
toro-rosso-kenapa-f1-jangan-ditonton


Boleh setuju atau tidak, sosok Max Verstappen mengingatkan saya akan Fernando Alonso semasa mudanya. Max mencatatkan diri sebagai pebalap termuda di Australian Grand Prix 2015 pada usia 17 tahun. Menurut saya, Max layak disebut wonderkid yang akan menantang hegemoni seluruh konstruktor terbaik tahun 2016 ini, termasuk Mercedes.

Hegemoni Mercedes sebagai juara konstruktor F1 tahun 2015 harus mengalami insiden pahit di sirkuit Catalunya. Mercedes yang selalu mendapatkan posisi terbaik pun seakan-akan menjadikan mobil balapnya lelucon dan hiburan bagi penonton. Entah disengaja atau tidak, lucu saja melihat pertarungan Nico dan Hamilton ditikungan ketiga.

Duka Mercedes tidak berhenti begitu saja pada kecelakaan dua pilot mereka. Mungkin hanya kebetulan, tersingkirnya Nico dan Hamilton membuat cah cilik Max Verstappen merebut kemenangan perdana di gelaran Formula 1. Ah, sudah jatuh, diejek bocah cilik pula.

Dominasi kuat Mercedes seperti telah usai masa berlakunya. Pindahnya Max dari Toro Roso ke tim RedBull Racing berhasil merusak hegemoni dua pebalap Mercedes. Bahkan, Max seringkali berani berduel dengan pebalap senior yang membuat teman nonton saya bergumam, "Ngawur juga ini anak".

Kemudian dengan umur yang sangat muda dan disiarkan keberbagai penjuru dunia, apakah Max akan menginspirasi semua orang, terutama anak muda? Kekhawatiran saya muncul ketika komentator stasiun tv lokal pun berujar dan membandingkan usia Max dengan dedek-dedek SMA negeri ini.

Ketahuilah bung, dunia balap motorsport dan bangku SMA itu berbeda. Mengapa berbeda? Karena ia tidak bisa disandingkan seperti balapan anak jalanan. Ya, walaupun serial tentang topik tersebut terlalu serius untuk diperbincangkan.

Itulah mengapa balapan Formula 1 tak usah ditonton. Ia selalu memiliki penggemar tersendiri. Sirkuit balap mencontohkan hal yang tidak patut untuk ditonton. Contoh buruk dari adu kecepatan yang berujung pada perdebatan siapakah yang paling cepat dan membahas siapa yang paling lambat.

Atau seperti insiden di Rusia tahun ini antara Kvyat dan Vettel. Menabrak adalah hal yang legal. Ya, walaupun ada race director yang bertugas untuk melakukan investigasi, tetap saja. Balapan tidak dapat diulang.

Stop Comparing Yourself to Others

Tidak perlu membanding-bandingkan umur anak kuliahan dan Hamilton yang menjuarai F1 pada usia 22 tahun. Sebab semua orang memiliki pilihan dan jalan hidupnya masing-masing.

Sedikit catatan untuk stasiun tv kita. Balapan bukan arena candaan. Dunia motorsport tak perlu diberbincangkan dengan guyonan yang mungkin tidak segemes celana gemes dedek-dedek SMA. Apa salahnya jika lebih memberikan edukasi balap yang lebih serius? Apa salahnya membahas drag reduction system dan track yang bumpy disetiap balapan? Tidak ada yang salah. Justru itu yang kami inginkan.

Alasan mengapa balapan Formula 1 tak layak ditonton adalah keinginan diri saja. Sebab, dua jam mendengar deru debu jet darat akan lebih baik daripada menyimak mereka yang tampaknya terobsesi menjadi host dengan guyonannya.


Image credit: pixabay.com
kita-bisa-jadi-super-hero.jpg


Anybody’s got the power
They don't see it cause they don't understand
Potongan lirik di atas gue ambil dari lagunya Alesso yang berjudul Heroes. Lagu yang berjenis EDM (Electronic Dance Music) dari Alesso feat Tove Lo yang selalu menemani gue lembur. Ya, selain iramanya yang nggak begitu ngebeat, gue juga mulai sadar, lagu ini keren abis.

Apalagi setelah rilisnya Captain America: Civil War. Gue yakin kalo setiap orang itu punya power alias kekuatan yang tentunya beda-beda. Contohnya aja si Steve dan Tony. Mereka adalah dua elemen utama yang menjadi pokok perhatian penonton. #TeamCap vs #TeamIronMan

Jika ditanya, ‘jika semua orang punya kekuatan, apakah kita semua adalah superhero?’

Lanjut ke kalimat selanjutnya dari lirik di atas, 'they don't see it cause they don't understand'. Nah, dari sini lo bisa paham kalo sebenernya kita punya kekuatan. Tapi, nggak ngerti apa dan bagaimana kekuatan milik kita tadi bisa dimanfaatkan. Padahal sebenarnya sederhana, kekuatan yang kita miliki tadi bisa dipake buat ngebantu orang lain. Pernah denger gak, seseorang yang pernah ditolong terus bilang 'You're my hero' sama orang yang udah ngebantu dia?

Sama kek Steve di Civil War. Dia nggak ngerti gimana manfaatin kekuatannya sebagai superhero yang tentunya disertai dengan kebijaksanaan. Oke, secara fisik, Steve unggul dari yang lainnya. Tapi apakah Steve (dan tentu superhero lainnya) bisa mengkontrol ego milik mereka? Gue jadi inget pesan dari Vision nih. Intinya gini, kalo lo ngerasa apa yang lo lakuin itu benar, tapi cara yang lo lakuin itu salah, itu adalah bencana!

We can do anything

Terus kalo realisasinya di dunia nyata apa dong? Tentunya, kita bisa jadi pahlawan setiap orang tanpa harus memiliki kekuatan superpower. Sebab, superhero yang kita liat (kalo dari film) selalu punya kekuatan super. Lah, kan ya gak mungkin dong kita lakuin di dunia nyata?

I know you hear me now, we are a different kind
We can do anything

Contoh real adalah kalo lo liat startup deh. Fokus utama dari kebanyakan startup adalah membantu permasalahan orang lain. Ya mau seperti apa startup yang ada, fokusnya adalah membantu mencari solusi terbaik plus dengan bantuan teknologi. Startup ngebantu nyelesein mulai dari permasalahan yang paling sederhana dan sepele sampai ke tingkat permasalahan yang rumit. Boleh dong ya kita sebut mereka superhero?

Mereka yang bekerja mewujudkan startupnya selalu memiliki misi untuk membantu orang lain, solving other people problems. Sehingga, mereka adalah real superhero yang udah ngerti apa dan bagaimana caranya manfaatin kekuatan mereka tadi.

Instead of doing ordinary things like scrolling timeline, mereka ngerti harus ngapain. Tapi muncul pertanyaan lagi, apakah semua orang harus menjadi seorang founder startup untuk menjadi superhero? Belum tentu. Kita bisa aja join dengan mereka yang udah memulai duluan, kan daripada bikin dari nol, lebih baik kita kerjain bareng. Toh, kalo emang misinya sama, kenapa harus berbeda?

Kecuali lo emang punya cara yang berbeda untuk ngebantu orang lain. Lagipula tujuannya tetep sama kok, nyelesein masalah orang lain, kan?

Lebih Peka Buat Orang Lain

Contoh yang lebih kecil lagi nih, lo gak perlu kekuatan super buat jadi superhero. Tapi, lo harus jadi orang yang lebih peka buat mengamati permasalahan orang lain. Setelah lo amati, selanjutnya lo harus fokus sama apa yang bisa lo lakuin buat mereka.

Misalnya aja lo adalah desainer dan kebetulan aja lo punya temen yang nggak ngerti caranya bikin logo buat usahanya. Padahal produk yang ia jual itu bagus banget, sayangnya dia nggak ngerti caranya bikin branding produk tadi secara visual. Dia cuman ngerti gimana caranya bikin produk yang bagus, nyelesein masalahnya si konsumen dan bikin mereka puas.

Nah, daripada keahlian desain yang lo punya itu percuma, sekali-kali lo bisa aja ngebantu temen lo tadi. Asalkan orientasi lo jangan duit dulu. Iyasih gue pernah nulis tentang harga temen. Tapi nggak gitu juga. Lagian kalo usahanya sukses, lo juga bisa kena imbasnya. Direkomendasiin ke temen-temen sesama pengusaha temen lo tadi, misalnya.

In a nutshell? Kita emang gak punya kekuatan superpower layaknya seorang superhero. Tapi kita punya kemampuan turunan dari para superhero. Karena hero sejati bukanlah mereka yang memiliki kemampuan super. Di dunia nyata, hero adalah mereka yang memiliki pemikiran super dan tentunya digunakan untuk membantu orang lain.

You want to be a hero? Cobalah untuk lebih peduli pada permasalahan yang ada. Kemudian pelajari apa yang bisa kamu lakukan. Selanjutnya, eksekusi.

It makes the world a better place, one little step at a time


Header image credit: youtube.com

Good Ideas. Great Stories.

Feel free if you want to send an email to me and ask anything, or just to say hello!

hello@jungjawa.com

Copyright © jungjawa 2022